[caption id="attachment_133372" align="alignright" width="300" caption="Adakah Jalan lain? (gstatic.com)"][/caption] Demokrasi yang identik dengan kebebasan rakyat berekspresi dan bersuara, bukan dilakukan tanpa norma aturan dan kesepakatan. Era Demokrasi Terpimpin, rakyat dan bangsa Indonesia dengan kapasitas pengetahuan dasar 3R (Read, wRiting, dan aRithmetic = Baca, Tulis, Hitung) rendah, jelas ekspresi rakyat dan masyarakat harus dikawal agar tidak menjadi destruktif. Di era Demokrasi Pancasila, rakyat dan bangsa Indonesia dikenalkan pada norma, kesekapakatan dan aturan nilai Pancasila yang juga dijadikan satu pandangan hidup bersama di atas keragaman adat, budaya di tanah air. Dengan Pancasila, diperkenalkan pula hak ‘kebebasan’ seseorang harus memperhatikan batas atas kewajiban terhadap orang lain. Di era Reformasi, norma, kesepakatan dan aturan tidak tertulis yang dianggap membelenggu selama ini, dimaknai melawan paham demokrasi. Hal ini tidak jarang melahirkan budayaa(n)archo dan lebih cenderung mengutamakan kesenangan, kenyaman diri pribadi dan kelompok.
[caption id="attachment_133373" align="alignright" width="300" caption="Parlementer dan Presidensial, sama saja? (iefd.org) "][/caption] Hak kebebasan yang dimiliki oleh seseorang dan orang lain meletakkan kedua hak dalam batas yang saling bersinggungan. Ibarat dua buah himpunan hak yang berbeda, kemudian disatukan pada sisi yang membentuk bidang yang saling berhimpita. Maka daerah yang saling berhimpitan tadi adalah batas yang melahirkan kewajiban dan toleransi di antara kedua pemilik dan pengguna hak kebebasan. Apabila, di masa orde baru untuk menyadarkan nilai toleransi terhadap masyarakat, rakyat dan bangsa Indonesia cukup diingatkan dengan Pancasila, agar dikatakan Pancasila-is.
Sedangkan di era Reformasi, seperti disampaikan salah seorang kompasianer, rakyat tak punya “bapak” sebagai penuntun dan diturut. Sesungguhnya ini adalah pertanyaan moral untuk mengembalikan nilai, norma, kesepatakan tidak tertulis yang dapat dijadikan Bapak agar Ibu pertiwi dapat menampilkan senyum manis kembali. Dari olah raga dan dinamika lain di tengah masyarakat kita, dapat diperoleh hikmah dan kebajikan bahwa Bapak tidak harus dituliskan dan dijabarkan formal akademis, apalagi sekedar hafalan seperti proses pembelajaran di sekolah.
Bapak adalah kesadaran toleransi dan spirit bersama sebagai masyarakat, rakyat dan bangsa Indonesia yang satu dari Sabang sampai Merauke. Sedangkan ibu pertiwi adalah artefak dan tapak alam yang melingkupi dan membatasi Indonesia sebagai satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H