Lihat ke Halaman Asli

Hardy Yang Ya Tao (扬 亚 涛)

Independent Researcher

Sepak Bola, Bukan Sekedar Pertandingan (Tafsir Zaman)

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Sejak menit2 awal setelah Boaz 'sangat PD' menggiring dari sisi kiri gawang dan mencoba 'peruntungan' lewat tembakan kaki kiri, yang ternyata ngawur. Saya jengah dan memutuskan lebih baik main catur on-line dengan lawan mancanegara, dicatat saya mengalahkan lawan dari India, Irak, Filipina, Amerika, Wales masing-masing satu sesi.

Ketika melawan orang India yang berbeda bukan karena peruntungan buruk, empat sesi saya harus rela kehilangan point. Boleh dikata, keterpurukan ini disebabkan konsentrasi buyar dan harus segera mempersiapkan diri menyusul teman-teman yang sudah menunggu untuk berangkat melayat kakak teman kami yang lain yang disemayamkan di rumah duka sebelum diperabukan.

Karena rating blitz sudah di atas 1300, maka setiap kekalahan dikurangi hingga 11 – 14 point, bergantung kalah telak (skak-mat), atau habis waktu. Kalah telak pun dikategorikan tiga; dengan sisa perwira dan bidak, sisa perwira saja, sisa bidak saja atau perwira dan bidak lain habis tanpa sisa. Kekalahan yang hanya menyisakan raja di atas chess board dikatakan ‘dhedhel duwel’ dan paling tinggi mengurangi point sebesar 14.

Sudah sejak setahun terakhir ini saya memilih catur on-line, meski tidak bertatap muka namun lebih nyaman ketimbang mesti nongkrong di mulut gang dengan tukang ojek atau ‘ngemper’ di peron terminal yang kebetulan tidak jauh dari rumah. Baik catur on line maupun catur off line saya bisa belajar banyak karakter orang. Pokoknya, menyenangkan dan mengasyikkan terlibat dalam olah raga otak ini.

Setiap permainan dan pertandingan olah raga yang melibatkan interaksi antara dua lawan, seiring dengan perkembangan budaya dan etika umat manusia, mensyaratkan aturan atau sekurang-kurangnya kesepakatan di antara kedua belah pihak. Kesepakatan ini mengatur cara menang, cara alat pendukung digunakan, dan beragam aturan yang disepakati bersama, termasuk masalah penonton. Bahkan untuk even di tingkat internasional, aturan juga menyentuh masalah lapang atau tempat pertandingan, akomodasi, hingga transportasi. Tiga masalah ini konon menjadi unsur yang menurunkan peluang kemenangan tim sepakbola Indonesia atas Iran. Bermain di kandang lawan, tim Garuda kalah 0-3.

Begitu pula, imbas kendala transportasi udara dari Iran sebelum bertanding dengan Bahrain (6/9). Tim Garuda bahkan masih di Iran, sementara tim tamu sudah melakukan latihan dan ujicoba lapangan di Stadiun Gelora Bung Karno (GBK). Sekalipun sebagai pribumi yang memiliki jam ‘merumput’ di GBK lebih lama, ini bukan jaminan. Karena ternyata, pertandingan yang dihadiri oleh Presiden SBY ini termasuk Menteri Pemuda dan Olah raga Ani Malarangeng, masih belum mampu meningkatkan pamor sepakbola di kancah piala dunia.

Pertandingan sepakbola yang melibatkan juga banyak penonton, harus juga melibatkan aturan dan kesepakatan atas ekspresi dan perilaku penonton, mulai dari psikologi individu yang berakumulasi menjadi psikologi massa. Tidak jarang penonton yang santun dapat berubah menjadi ‘galak’ ketika suasana emosi kerumunan sudah mengintervensi kejenuhan dan kekecewaan seseorang melihat tontonan yang buruk jauh dari harapan awal. Situasi ini akan berbeda dengan situasi penonton di rumah, efek ‘massa’ relatif dapat diredam.

Ekspresi penonton pertandingan sepak bola antara Indonesia – Bahrain yang sempat dihentikan di menit ke-75, apalagi dengan ‘pesta’ petasan dan mercon sisa -sisa lebaran. Pak Joseph Praba melihat kemeriahan ini sebagai tanda jaman bahwa penonton perlu “pelatih” agar bermartabat dan terhormat. Dalam kaitan ini saya mencoba menangkap suasana emosi penonton dan menghubungkan dengan ‘haru biru’ reformasi yang mencoba merestrukturisasi kesadaran masyarakat atas demokrasi.

Demokrasi yang identik dengan kebebasan rakyat berekspresi dan bersuara, bukan dilakukan tanpa norma aturan dan kesepakatan. Era Demokrasi Terpimpin, rakyat dan bangsa Indonesia dengan kapasitas pengetahuan dasar 3R (Read, wRiting, dan aRithmetic = Baca, Tulis, Hitung) rendah, jelas ekspresi rakyat dan masyarakat harus dikawal agar tidak menjadi destruktif. Di era Demokrasi Pancasila, rakyat dan bangsa Indonesia dikenalkan pada norma, kesekapakatan dan aturan nilai Pancasila yang juga dijadikan satu pandangan hidup bersama di atas keragaman adat, budaya di tanah air. Dengan Pancasila, diperkenalkan pula hak ‘kebebasan’ seseorang harus memperhatikan batas atas kewajiban terhadap orang lain. Di era Reformasi, norma, kesepakatan dan aturan tidak tertulis yang dianggap membelenggu selama ini, dimaknai melawan paham demokrasi. Hal ini tidak jarang melahirkan budaya a(n)archo dan lebih cenderung mengutamakan kesenangan, kenyaman diri pribadi dan kelompok.

Hak kebebasan yang dimiliki oleh seseorang dan orang lain meletakkan kedua hak dalam batas yang saling bersinggungan. Ibarat dua buah himpunan hak yang berbeda, kemudian disatukan pada sisi yang membentuk bidang yang saling berhimpita. Maka daerah yang saling berhimpitan tadi adalah batas yang melahirkan kewajiban dan toleransi di antara kedua pemilik dan pengguna hak kebebasan. Apabila, di masa orde baru untuk menyadarkan nilai toleransi terhadap masyarakat, rakyat dan bangsa Indonesia cukup diingatkan dengan Pancasila, agar dikatakan Pancasila-is.

Sedangkan di era Reformasi, seperti disampaikan salah seorang kompasianer, rakyat tak punya “bapak” sebagai penuntun dan diturut. Sesungguhnya ini adalah pertanyaan moral untuk mengembalikan nilai, norma, kesepatakan tidak tertulis yang dapat dijadikan Bapak agar Ibu pertiwi dapat menampilkan senyum manis kembali. Dari olah raga dan dinamika lain di tengah masyarakat kita, dapat diperoleh hikmah dan kebajikan bahwa Bapak tidak harus dituliskan dan dijabarkan formal akademis, apalagi sekedar hafalan seperti proses pembelajaran di sekolah.

Bapak adalah kesadaran toleransi dan spirit bersama sebagai masyarakat, rakyat dan bangsa Indonesia yang satu dari Sabang sampai Merauke. Sedangkan ibu pertiwi adalah artefak dan tapak alam yang melingkupi dan membatasi Indonesia sebagai satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline