Lihat ke Halaman Asli

Hardy Yang Ya Tao (扬 亚 涛)

Independent Researcher

Sosialisme Indonesia 1/3 - Jaminan Sosial (baru) Tenaga Kerja

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Siang itu dua orang duduk saling berhadapan diskusi dipisahkan meja tempat tempe mendoan hangat dihidangkan bersama teh tubruk. Pembicaraan bermula dari pengalaman masing-masing mencairkan santunan jaminan hari tua (JHT) tenaga kerja. Orang pertama sebut saja Barkah (bukan nama asli) berhenti bekerja tahun 2000 setelah tiga tahun bergabung dengan perusahaan distribusi,kemudian 2004-2005 menimba ilmu di dataran Tiongkok. Sedangkan orang kedua sebuat saja Jumadi (bukan nama asli) berhenti bekerja tahun 2011setelah menjalani sekitarsepuluh tahun bekerja diperusahaan tekstil. Kedua orang ini selama bekerja hampir dilibatkan dalam urusan operasional manajemen perusahaan seperti pajak hingga purchasing dalam pengadaan bahan bakar.

Catatan ini dibuat dalam tiga bagian mencoba menggambarkan pemahaman dua orang perihal apa yang dikatakan dengan realitas keadilan sosial paska penetapan presiden Indonesia ketujuh yang saat ini dibayangi rencana kenaikan BBM sementara harga minyak dunia turun.

Belum satu bulan lewat Barkah mendapat klaim tunjangan JHT yang kurang sepuluh juta rupiah dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) tenaga kerja (dulu dikenal sebagai Jamsostek). Sedangkan Jumadi telah lebih dulu mendapat klaim JHT kurang dari setahun setelah perusahaan tekstil tempat bekerja di kawasan bandung selatan gulung tikar. Saat menyelesaikan administrasi klaim JHT inilah, kedua orang ini menyaksikan gambaran tenaga kerja yang merepresentasikan tipologi masyarakat dengan pendidikan yang terbatas. Pendidikan ini diukur dari pencapaian pendidikan formal maupun pengalaman pendidikan informal/nonformal.

Lumrah apabila dijumpai wajah pesimis dan apatis para calon penerima klaim JHT, selain tidak tahu besaran nominal yang diperoleh, banyak di antara mereka tidak tahu harus berbuat apa setelah tidak lagi bekerja. Barkah sendiri bersama istrinya membuka toko kelontong.Toko ini pertama kali didirikan dengan modal klaim jamsostek istri Barkah yang berhenti bekerja dari jaringan hotel internasional. Toko ini kemudian oleh Barkah dibesarkan dengan modal tambahan dari hasil kerja sampingan jual beli laptop, dan memberikan les privat. Jumadi sendiri bekerja membantu klinik pengobatan milik mertuanya sembari mengantar jemput istrinya yang bekerja sebagai perawat di satu RS pemerintah.

Barkah tinggal bersama istri dan belum dikaruniai anak dirumah milik mendiang mertuanya, sedangkan Jumadi bersama istri dan dua anaknya tinggal di rumah yang didirikan di atas tanah milik mertuanya. Rumah Jumadi dibangun dengan dana hasil ‘menyekolahkan’ SK PNS istrinya selama dua kali periode masa pinjaman. Jumadi dan Barkah mengakui sebagai buruh/pekerja sampai kapan pun, hampir tidak mungkin bisa memiliki rumah sendiri dari gaji yang diperoleh.

Jumadi yang pernah secara kolektif menyelesaikan klaim jaminan THT rekan kerja perusahaannya, menceritakan bagaimana rekan-rekannya sekalipun membutuhkan namun tidak memahami administrasi pencarian klaim, mulai dari data kartu jamsostek yang berbeda dengan data KTP. Perbedaan ini muncul, misalnya pada nama: Enjang, di tulis di KTP: Mang Enjang. Bahkan tanda tangan pada KTP jauh berbeda dengan tanda tangan pada lembar pengajuan klaim. Jumadi menjelaskan masalah tanda tangan ini, karena banyak rekan kerjanya buta huruf hingga tanda tangan pun meminta tolong pada orang lain saat membuat KTP. Akibat perbedaan data satu atau dua orang ini menjadikan klaim kolektif harus menunggu seluruh data lengkap sehingga pencairan membutuhkan waktu lebih lama, selain itu Jumadi pun harus bolak-balik melakukan klarifikasi data.

Dituturkan oleh Jumadi, di daerah bandung selatan tempat dulu industri tekstil menjadi primadona, saat ini banyak para pekerja setelah mendapatkan klaim JHT, mereka memanfaatkan dana untuk membuka warung kelontong dengan alasan utama agar uang yang diterima tidak cepat menguap hingga mencari kesibukan setelah tidak lagi bekerja. Barkah membenarkan, bersama istrinya membuka warung kelontong memanfaatkan dana jamsostek tidak mudah. Dibutuhkan hingga minimal tiga kali dari dana diterima untuk menjaga kelangsungan toko, sepertiga untuk belanja barang di awal,sepertiga untuk operasional dan sepertiga untuk cadangan modal. Modal usaha warung pun harus ekstra ketat dijaga agar tidak dirongrong oleh kebutuhan hidup sehari-hari. Barkah sendiri tidak merokok sehingga jualan rokok tetap aman, tidak seperti kebanyakan rekan-rekan yang menjual rokok dan habis tidak terasa dikonsumsi sendiri.

Bagi Barkah dan Jumadi selepas menapaki masa sebagai buruh/pekerja, mereka harus menjalani hidup dan belajar dari cara hidup orang lain bahkan tidak jarang mencoba pengalaman baru dengan resiko yang harus ditanggung sendiri minimal sebagai bentuk pembelajaran di luar sekolah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline