It doesn’t matter whether it is a white or black cat, as long as it catches mice.
-Deng Xiaoping-
Sekitar seminggu yang lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil terkait UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Setidaknya ada dua permasalahan yang digugat oleh para pemohon. Pertama, pemohon khawatir bahwa diterapkannya UU Dikti akan mengurangi peran negara sehingga menjadi pintu masuk komersialisasi pendidikan tinggi di Indonesia. Kedua, pemohon menggugat mekanisme pengelolaan kekayaan negara oleh suatu badan hukum.
Isu ini menarik karena dapat kita jadikan potret bahwa kita masih terus mencari sejauh mana peran negara (state) dan pasar (market) dalam kebijakan publik di Indonesia. Kejadian serupa dapat kita temui di berbagai isu lain, misalnya pengelolaan kesehatan, jaminan sosial, hingga pengelolaan sumber daya alam (SDA). Pro-kontra ini sangat wajar dan pasti selalu terjadi di negara mana pun, mulai dari negara liberal macam Amerika serikat atau pun komunis Seperti Cina.
Lantas, bagaimana kita meracik formula peran negara dan pasar dalam pengelolaan berbagai kebijakan publik di Indonesia? Sebenarnya, tidak ada rumusan baku mengenai hal ini. Hanya saja setidaknya ada dua variabel signifikan yang dapat dijadikan bahan pertimbangan suatu bangsa dalam menempatkan peran negara dan pasar. Kedua pertimbangan tersebut adalahpertimbangan ideologi (normatif) dan pertimbangan realitas (positif).
Pertama, pertimbangan ideologi suatu bangsa tercermin dari amanat konstitusi masing-masing negara. Dalam konteks UU Dikti ini, MK menilai bahwa peran penuh (pembiayaan) negara di sektor pendidikan hanya sebatas pendidikan dasar, sedangkan untuk pendidikan menengah dan tinggi peran negara semakin sedikit atau dengan kata lain dimungkinkan adanya partisipasi pasar (termasuk masyarakat di dalamannya).
Contoh lain yang kerap menjadi perdebatan publik adalah mekanisme pengelolaan SDA. Kasus dibubarkannya BP Migas (kini SKK Migas) adalah contoh kegagalan pemerintah dalam memformulasikan kombinasi peran negara dan pasar dalam konteks pengelolaan Migas di Indonesia.
Kedua, pertimbangan riil kondisi masyarakat itu sendiri. Contoh lain kekeliruan pemerintah menempatkan posisi negara adalah subsidi BBM. Data Susenas BPS menunjukkan sebagian besar (sekitar 75%) penikmat subsidi BBM adalah kalangan menengah atas, sedangkan orang miskin sedikit sekali merasakan manfaat dari kebijakan ini. Alangkah lebih baik jika kita gunakan sebagian dana subsidi BBM untuk pos-pos yang lebih produktif atau digunakan untuk pemberdayaan kaum lemah.
Logika subsidi BBM berlaku pula untuk subsidi bagi pendidikan tinggi. Dalam konteks prioritas pembangunan sektor pendidikan, data BPS (2013) terbaru menunjukkan bahwa sedikit sekali masyarakat Indonesia yang mengenyam pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Hal ini dapat dilihat dari statistik Angka Partisipasi Sekolah (APS). APS level SMA Indonesia masih sekitar 51,5% atau sekitar 48,5% masyarakat Indonesia yang belum mengenyam bangku pendidikan menengah.
Dengan kondisi riil masyarakat seperti itu, kurang bijak rasanya jika kita menuntut negara menanggung penuh pembiayaan pendidikan tinggi, sedangkan di sisi lain masih banyak masyarakat kita yang belum mengenyam bangku pendidikan menengah. Lebih baik, dana untuk pendidikan tinggi tersebut kita gunakan untuk subsidi pendidikan menengah.
Sebenarnya, masih banyak lagi contoh perdebatan peran negara dan pasar dalam pembangunan di Indonesia. Terlepas dari perbedatan tersebut, bagi penulis itu adalah perdebatan terkait jalan mana yang hendak kita tempuh. Bukankah banyak jalan menuju Roma? Yang lebih penting adalah fokus merealisasikan cita-cita Republik ini, yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Coventry, 17 Desember 2013.
DS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H