Akhirnya sore hari menjelang ashar, Pak Prabowo mengeluarkan sikap terkait hasil rekapitulasi (sementara) yang dilakukan oleh KPU pada Selasa, 22 Juli 2014. Inti dari sikap beliau adalah menolak hasil Pilpres 2014 dengan alasan KPU tidak menggubris kritik dari pihak kandidat nomor 1, seperti indikasi-indikasi kecurangan, dll.
Rekonsiliasi Nasional
Jika proses Pilpres 2014 ini tidak berlangsung mulus, Indonesia harus masih menunggu beberapa tahun ke depan lagi untuk menjadi bangsa yang padu, kuat, dan kompak. Sejarah transisi kekuatan, khususnya pergantian kepemimpinan di Republik ini tercatat tidak satu pun berjalan mulus.
Lihat lah bagaiman Kubu Soekarno begitu membenci Kubu Soeharto. Lihat pula bagaimana Kubu Islam (poros tengah) menjegal Mega di Pilpres 1999 dengan gerakan ABM “Asal Bukan Mega!”.
Lihat pula bagaimana jatuhnya Gus Dur yang kembali menguak konflik klasik antara NU versus Muhammadiyah dikarenakan banyak pendukung Gus Dur yang meyakini bahwa Gus Dur, Tokoh NU, naik dan jatuh dari kursi kepresidenan lantaran Amien Rais, tokoh Muhammadiyah.
Kemudian 2004 drama kembali terjadi. Kini antara Kubu Mega (PDIP) versus Kubu SBY (Partai Demokrat). Mega tidak terima dikalahkan oleh mantan menterinya sendiri, SBY. Momen ketika SBY berlari-lari menyerahkan surat pengunduran diri sebagai menteri diindikasi kuat sebagai salah satu faktor melejitnya popularitas SBY yang kemudian mengalahkan Mega setelah dua putaran. Perang dinging Mega versus SBY terus berlanjut. Mega memilih menjadi oposisi sejati selama periode pertama pemerintahan SBY (2004-2009).
Pertarungan kembali berlanjut di 2009. Lagi-lagi pertarungan dua kekuatan utama yaitu Mega versus SBY kembali menghiasi dunia politik Indonesia ketika itu. Ditambah kandidat tambahan ketika itu, yaitu JK-Wiranto.
Lagi, Mega dikalahkan oleh SBY pada pilpres 2014. Bahkan kekalahan kali ini jauh lebih telak. SBY mampu unggul jauh dari Mega. Mega lebih tertampar lagi karena pada Pilpres 2009, Dia dikalahkan SBY hanya dalam satu putaran. Alhasil, PDIP kembali menjadi oposisi utama. Konflik dan perang dingin antara Mega versus SBY semakin memanas.
Sebenarnya rekonsiliasi nasional mulai dinisiasi selama periode kedua SBY. Salah satunya adalah dengan menjadikan suami Mega, almarhum Taufik Kiemas, sebagai ketua MPR. Namun, secara keseluruhan, nampaknya sakit hati dan dendam Mega ke SBY begitu mendalam.
Pada Pilpres 2014, Anas Urbaningrum melalui akun twitternya pernah mewacanakan ide menarik bahwa PDIP dan PD harus berkoalisi dan mengusung Capres-Cawapres sendiri. Wacana utama Cak Anas ini diutamakan untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional, khususnya antara Mega (PDIP) dan SBY (PD). Sayang, koalisi ini tidak terwujud. Bahkan pernah mengutarakan i’tikad baik PD untuk mengajak PDIP berkoalisi, namun sepertinya lagi-lagi proses ini terkendali di Mega-nya sendiri.
Akhirnya, PD yang awalnya memutuskan netral kemudian di menit-menit akhir melabuhkan dukungan ke Prabowo-Hatta. Lagi-lagi PD duel dengan PDIP. Rekonsiliasi nasional kembali gagal.
Lebih-lebih, per tanggal 22 Juli 2014 kubu Prabowo menyatakan menolak hasil Pilpres 2014. Jelas tindakan ini adalah sebagai bentuk deligitimasi bagi Jokowi-JK. Rekonsiliasi nasional kita kembali terancam.
Peran Jokowi, Mega dan PDIP
Sikap yang diambil oleh Prabowo dan tim bukan lah barang baru. Pada Pilpres 2004, Mega pun menolak hasil Pilpres. Kemudian pada 2009, Mega dan JK (Capres ketika itu) juga menolak hasil Pilpres kala itu. Alasan mereka pun serupa, kecurangan dimana-dimana. Tidak perlu heran dengan sikap yang diambil Prabowo saat ini. Substansinya sama saja: Elit kita siap menang, tidak siap kalah.
Kecewa dan sedih pasti ada ketika kalah dalam suatu pertandingan, baik bagi pemain maupun pendukung. Di sini lah peran penting PDIP dan Mega beserta elit-elit di belakangnya untuk menenangkan suasana dan mewujudkan rekonsiliasi nasional.
Pemenang lah yang harus memulai untuk membesarkan hati yang kalah. Pemenang lah yang harus datang, sowan, menghibur hati yang sedang berduka dan diselimuti rasa kecewa. Ini wajib hukumnya. Di sisi lain, tentu yang kalah, Prabowo, juga harus berlapang dada. Meskipun butuh waktu tentunya.
Saya percaya sedari awal Jokowi dan Prabowo adalah dua putra terbaik bangsa Indonesia. Saya yakin mereka menempatkan kepentingan bangsa kita di atas golongan dan kepentingan pribadi mereka. Semoga Pak Jokowi, sebagai Pemenang, mampu menghimbau, mengajak, dan mencontohkan bagaimana membesarkan hati Kubu Prabowo. Dengan begitu rekonsilisasi nasional akan terwujud. Ini bukan untuk Jokowi, bukan pula untuk Prabowo tapi untuk bangsa kita yang kita cintai bersama.
Ya Allah, berkahi negeri kami menjadi Negeri yang Baldatun thayyibatun warrabun ghaffur. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H