Oleh: Dzulekha Isnawa Arpiya Hanafi
Pada tahun 2024, Indonesia kembali dihadapkan dengan kasus narkoba yang signifikan melalui Operasi Tumpas Narkoba di Banyuwangi. Operasi ini berlangsung selama 12 hari dan berhasil menangkap 43 tersangka dengan barang bukti sekitar 1,6 kilogram sabu, ekstasi, ganja, dan ribuan pil trex.
Pihak kepolisian, dipimpin oleh Kombes Pol. Nanang Haryono, menyatakan komitmennya untuk menekan peredaran narkoba demi melindungi generasi muda. Kasus ini tidak hanya menjadi sorotan masyarakat, tetapi juga mencerminkan penegakan hukum di Indonesia yang cenderung berfokus pada pendekatan positivisme.
Operasi Tumpas Narkoba: Fakta dan Dampak
Operasi yang dilakukan oleh Polresta Banyuwangi ini adalah bagian dari Operasi Tumpas Narkoba Semeru 2024, yang bertujuan untuk memberantas peredaran narkoba di wilayah tersebut. Dari 43 tersangka yang ditangkap, 17 di antaranya terjerat kasus narkotika, sementara 26 lainnya terkait peredaran obat keras seperti pil trex. Selain narkoba, pihak berwenang juga menyita 1.598 gram sabu, 35,71 gram ganja, dan 53 butir ekstasi.
Keberhasilan ini dianggap sebagai pencapaian besar karena mengungkap jaringan pengedar dan pengguna narkoba di Banyuwangi, sebuah wilayah yang dikenal sebagai salah satu daerah perlintasan distribusi narkoba. Selain itu, ancaman hukuman yang diberikan kepada para tersangka cukup berat, termasuk hukuman mati, penjara seumur hidup, dan denda miliaran rupiah, tergantung pada berat barang bukti yang mereka bawa.
Perspektif Hukum Positivisme dalam Penegakan Kasus Narkoba
Pendekatan hukum positivisme menekankan pentingnya kepastian hukum dan kepatuhan terhadap aturan yang ditetapkan oleh otoritas yang sah. Dalam konteks penegakan hukum narkoba di Indonesia, pendekatan ini terlihat jelas. Hukum yang diterapkan, seperti Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, digunakan secara ketat untuk menghukum para pelanggar tanpa mempertimbangkan secara mendalam motif atau latar belakang sosial dari pelaku.
Dalam pandangan positivisme, hukum harus dipatuhi apa adanya, sesuai dengan teks yang tertulis, dan aparat penegak hukum tidak memiliki kewenangan untuk menilai apakah suatu aturan adil atau tidak. Sebagai contoh, dalam kasus Operasi Tumpas Narkoba ini, penegakan hukum berfokus pada penerapan pasal-pasal hukum yang sudah jelas, termasuk Pasal 114 dan Pasal 112 yang mengatur tentang peredaran dan kepemilikan narkotika golongan I seperti sabu. Para tersangka diadili berdasarkan berat barang bukti yang ditemukan, dengan ancaman hukuman yang sangat tegas.
Positifnya Pendekatan Positivisme dalam Penegakan Hukum
Salah satu keuntungan pendekatan positivisme adalah adanya kepastian hukum yang jelas. Para pelanggar hukum mengetahui konsekuensi dari tindakan mereka karena undang-undang secara eksplisit mengatur hukuman bagi tindak pidana narkotika. Dalam kasus Operasi Tumpas Narkoba, kejelasan aturan ini membuat aparat hukum bisa dengan cepat menindak pelaku dan mencegah terjadinya kesalahan interpretasi atau penyalahgunaan kekuasaan.