Judul di atas menurut saya lebih pas dan sreg untuk memadankan makna dari buku kumpulan surat R.A. Kartini. Minazh zhulumaati ilan nuur termaktub dalam Alquran surat Albaqarah ayat 257. Judul buku kumpulan surat R.A. Kartini dalam bahasa Belanda yaitu Door Duisternis Tot Licht. Kadung orang lebih mengetahui dan kenal buku kumpulan surat kartini dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Bagaimana Kartini bisa mendapatkan pelita dalam kepalanya sehingga dia punya ide dan inspirasi menghantarkan orang dari keadaan gulita menuju cahaya.
Kartini lahir di penghujung abad 19, tepatnya tahun 1879. Tahun kartini lahir dan tumbuh merupakan era saat kaum liberal menguasai parlemen Belanda. Dampak yang timbul dari hal ini salah satunya timbul pemikiran untuk mencerdaskan kehidupan rakyat jajahan nun jauh di timur sana, Hindia-Belanda. Sebelum kaum liberal mengambil peran yang besar di parlemen, ide untuk mencerdaskan tanah jajahan jauh dari angan-angan.
Gerakan mencerdaskan tanah jajahan pun disambut dengan berdirinya banyak sekolah. Siswa-siswa yang bersekolah bukan sembarang anak, mereka adalah anak orang Eropa atau anak pribumi yang berdarah biru. Walau dalam tulisannya Kartini kesal dengan sebutan putri bangsawan namun R.A. Kartini termasuk ke dalam golongan yang diuntungkan oleh kebijakan politik pemerintah Belanda. Hingga usia 12 tahun R.A. Kartini mendapat pendidikan barat sebelum budaya lingkungan dia tinggal merenggutnya. Walau R.A. Kartini putus sekolah dia tidak putus dari proses pendidikan. Di rumah R.A. Kartini belajar dengan abangnya yang mendapat pendidikan Barat jauh lebih mantap dari pada R.A. Kartini. Dari pendidikan barat inilah R.A. Kartini mendapat bekal yang sangat berharga dan akan mengabadikan namanya : baca tulis latin dan bahasa Belanda.
***
Sebelum politik pencerdasan tanah jajahan dikumandangkan, pribumi Hindia-Belanda bukannya tidak kenal baca tulis. Memang benar mereka buta huruf. Buta huruf Latin, bukan buta aksara Jawi, Arab, Jawa, Kaganga, atau Bugis. Untuk kepraktisan ejaan maka pemerintah Hindia-Belanda menyusun suatu ejaan baru untuk bahasa-bahasa yang ada di wilayah tanah jajahan. Pencetus ejaan tersebut adalah van Ophuijsen. Bahasa-bahasa yang dulu ditulis dengan aksara Jawi, Jawa, Kaganga, Bugis atau huruf lainnya ditulis dengan huruf Latin.
Perubahan ejaan ini berdampak sangat besar bagi sendi-sendi kehidupan rakyat tanah jajahan. Disadari atau tidak perubahan ejaan ke huruf latin merubah pola pikir rakyat tanah jajahan mengikut pola pikir pencetus ejaan itu yang logis dan berterus terang. Tulisan-tulisan yang ditulis dengan aksara Jawi, Jawa, Kaganga, atau Bugis cenderung mengutamakan rasa, bertemakan kanuragan dan kebatinan. Namun unsur-unsur rasa, kanuragan dan kebatinan ini tidak ikut serta saat ejaan Latin menggantikan aksara Jawi, Arab, Jawa, Kaganga, atau Bugis.
***
R.A. Kartini tumbuh dalam dua dunia. Fisik tumbuh dengan adat istiadat feodal Jawa, sedangkan jiwa berkembang dengan pola pikir Eropa. Dampaknya dia lebih logis dan berani berterus terang walau sebatas dalam goresan pena. Jika dibanding dengan wanita yang berjuang yang hidup sezaman atau sebaya dengan R.A. Kartini, menurut saya R.A. Kartini kalah tangguh.
R.A. Kartini tidak harus mengangkat popor atau parang untuk berjuang sebagaimana Tjut Nyak Dhien. R.A. Kartini hidup damai di rumah besar, Tjut Nyak Dhien keluar masuk hutan diburu dan memburu dengan marsose Hindia-Belanda.
R.A. Kartini hidup seperti realita pada umumnya. Dia menikah dengan pria yang dua kali lebih tua usianya dan menjadi istri keempat. Kisahnya tidak seperti dalam roman picisan atau bukan seperti Juliet. Berani melarikan diri untuk kawin lari dengan sang pujaan hati. Menjadi istri bupati yang wilayahnya menjadi tempat penyelundupan narkoba terbesar pada zaman itu kebutuhan pokok dan tersier bukan urusan yang pelik bagi R.A. Kartini. Beda dengan Inggit Garnasih yang harus sering puasa karena sang suami, Soekarno tercinta, lebih suka mengobarkan semangat massa. Inggit harus menjual giwang, bedak, kretek dan kutang untuk hidup di esok hari yang segera datang. Dan Inggit memilih menjadi janda dan meminta talak saat suami memutuskan membagi cinta dengan Fatmawati alias Fatimah.
R.A. Kartini tidak harus tegang mendapat teguran dan teror karena membuka kelas liar. Beda dengan Dewi Sartika. Wanita Sunda yang melakukan langkah nyata untuk menyapu gelap dalam kepala rakyat jelata. Berkali-kali hijrah karena kelasnya dibubar paksa oleh Belanda.