Lihat ke Halaman Asli

Dzikri Ali

mahasiswa

Ketika Tanah Palestine Bergoncang: Perjalanan Gadis Kembar dalam konflik Genosida

Diperbarui: 5 November 2023   17:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Instagram: @andriwanov

Cerita ini mengisahkan perjalanan yang haru dan penuh tantangan seorang Ayah bernama Akmal dan kedua anak perempuan kembarnya, Amira dan Amara yang berusia 14 tahun. Mereka tinggal di sebuah kota yang damai di negara mereka yang dulu penuh harapan. Ibu dari kedua anak perempuan ini sudah tiada pasca melahirkan mereka. Tak selang lama, kesedihan mereka bertambah Ketika tempat kelahirannya diserang oleh pasukan bersenjata yang menyebabkan kekacauan dan pembantaian di kota mereka. Inilah awal dari perjalanan mereka yang penuh dengan kesulitan.

Pada awalnya, hidup sepasang kekasih bernama Akmal dan Aiza yang tinggal di Kota yang luas di negara bagian barat, benua Asia. Pasangan ini melahirkan kedua putri kembar bernama Amira dan Amara. Kedua gadis kecil ini tumbuh tanpa sosok ibu di kehidupan nya, bahkan ia diberi asi oleh kakak dari Akmal yaitu Aisya. Ayah dari gadis kembar itu terus berjuang membesarkan dan menghidupi keduanya. Untuk memenuhi hal tersebut, Akmal bekerja di bidang konstruksi. Dari upah yang ia dapat, Akmal bisa membeli rumah di kota tersebut dan membesarkan anaknya hingga berusia 14 tahun. Kondisi mereka pada saat itu sangat aman, nyaman dan tentram, sebelum para pembantai itu datang dan mengacaukan semuanya.

Pada dini hari di akhir pekan, kota itu hancur menjadi beberapa bagian akibat kedatangan sekelompok yang kejam dan licik. Mereka menembaki semua warga yang ada di kota itu. Dalam momen kekacauan dan kepanikan, Akmal dengan cepat membawa Amira dan Amara untuk melarikan diri dari kota itu, mereka harus bersembunyi di hutan-hutan dan pedesaan terpencil untuk menyelamatkan diri dari para pelaku pembantaian. 

Saat mereka merasa terjebak dalam situasi yang mencekam, Akmal mencoba untuk melindungi dan menghibur kedua putrinya. Hubungan yang kuat antara mereka bertiga tumbuh lebih dalam seiring berjalannya waktu. Akmal menjadi lebih dari sekedar seorang Ayah, ia adalah panutan dan tempat perlindungan bagi Amira dan Amara. Kemudian yang lebih prihatin, kedua gadis ini harus meminum pil penunda menstruasi akibat dari kekurangan air besih, dan pakaian dalam (pembal*t). Meskipun situasi mereka sangat sulit, mereka saling mendukung satu sama lain dan berdoa bersama-sama untuk menemukan  jalan keluar.

Seiring berjalannya waktu, Akmal memutuskan untuk mencari tahu latar belakang dan motif dibalik serangan tersebut. Ia bergabung dengan kelompok perlawanan lokal yang berjuang untuk keadilan. Bersama kelompok ini, ia berusaha mengungkapkan kebenaran dan melawan pelaku pembantaian. Perjalanan mereka penuh dengan bahaya, ketegangan, dan pengorbanan. Mereka harus menghadapi musuh yang kejam, dan tidak menentu. Namun tekad mereka untuk mempertahankan tanah kelahiran mereka menjadi semakin kuat, mereka siap untuk melakukan segala yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan.

Akhirnya setelah perjuangan yang panjang dan berat, Akmal dan kelompok lokal berhasil mengungkapkan kebenaran dan menghadapi para pelaku pembantaian. Meskipun mereka mengalami luka dan kehilangan selama perjalanan akibat tembakan dan ledakan yang ditimbulkan oleh senjata api dan granat, mereka merasa puas karena telah memperjuangkan keadilan dan mempertahankan tanah kelahiran mereka. 

Proses pemulihan fisik dan emosional mereka dimulai, dan harapan untuk masa depan yang lebih baik untuk Amira dan Amara mulai muncul. Meskipun pengalaman ini telah mengubah mereka secara mendalam, mereka tetap memiliki keyakinan yang kuat dalam kekuatan keluarga, keberanian, dan perjuangan untuk keadilan. Mereka bermimpi tentang hari di mana tanah kelahiran mereka akan kembali menjadi tempat yang aman dan damai, di mana mereka dapat memulai kembali kehidupan yang tenang.

Akmal memulai hidup baru sebagai petani sayur di sebuah pedesaan terpencil, sebelumnya Akmal bekerja sebgai buruh konstruksi di salah satu Perusahaan swasta. Akibat dari kejadian yang menimpa dirinya ia terpaksa harus bekerja sebagai petani guna memenuhi kebutuhan pangan dirinya dan anak-anaknya. Tetapi setelah 1 pekan kemudian, terjadi hal yang tidak di sangka-sangka. Akmal yang sedang bekerja di perkebunan terkejut mendengar kabar dari kelompoknya bahwa tempat tinggal keluarganya terkena serangan habis-habisan (genosida) oleh para pelaku pembantaian. Sontak Ayah kedua gadis kembar itu bergerak cepat untuk mendatangi tempat tinggal nya. 

Pada saat itu kondisi di pedesaan tidak kondusif, mereka semua terkujur lemas melihat semua orang tergeletak di tumpukan batu dan tanah reruntuhan. Akmal yang melihat kejadian itu pun ikut terkujur lemas karna tidak melihat Amira dan Amara di tempat tinggalnya. Setelah didatangi, gubuk yang keluarga Akmal tempati sudah tertimbun oleh reruntuhan tanah, akibat bom yang diluncurkan melalui kapal terbang. 

Akmal pun menangis ketika ia tahu kedua anaknya berada di dalam reruntuhan tersebut. Ia terus memanggil nama gadis kembar itu "Amiraaaaaaaa!!!!" "Amaraaaaaa!!!!" tapi tidak ada satu jawaban ataupun suara yang terdengar dari reruntuhan itu. Akmal pun terjatuh dan  meneteskan air mata, ketika ia tahu Amira dan Amara tertimbun reruntuhan dan berpikir tidak akan bisa melihatnya lagi sampai kapan pun. 1 bulan kemudian Amira dan Amara ditemukan tidak bernyawa, dan Akmal selaku ayah dari kedua gadis tersebut merasa terpukul atas kejadian yang menimpa buah hati nya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline