Lihat ke Halaman Asli

Mochamad DzikriRivaldi

Mahasiswa S1 Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia

Perlindungan Benda Cagar Budaya Bangunan Lawang Sewu

Diperbarui: 28 Desember 2022   20:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Benda cagar budaya adalah sebuah kekayaan budaya bangsa yang begitu penting baik untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang. Dengan begitu perlu adanya perlindungan dan pelestarian demi membangun kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional. Sebagai kekayaan budaya bangsa, benda cagar budaya dapat difungsikan sebagai kepentingan agama, sosial, pendidikan, pariwisata, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Pelestarian yang dijalankan adalah upaya untuk perlindungan benda bersejarah maupun aset budaya bangsa, juga menjadi bagian dari pengelolaan lingkungan hidup dikarenakan benda-benda bersejarah menjadi bagian dari lingkungan.

            Salah satu benda cagar budaya yang berada di Semarang adalah Lawang Sewu. Lawang Sewu merupakan bangunan tua yang terletak di ujung jalan Pemuda persis di sebelah kanan depan Tugu Muda. Gedung ini dulunya merupakan Kantor Pusat Perkeretaapian Hindia Belanda, NIS (Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij) yang pertama dan terbesar. Arsitektur modern pertarna di Indonesia ini adalah hasil rancangan Prof. Jacob F. Kl inkhamer dan BJ Oueendag), yang diresmikan pada tanggal 1 Juli 1907 (Tontjetnunay, 1996: 18). Gedung Lawang Sewu setelah era kemerdekaan dipergunakan oleh Kodam VII Diponegoro dan kemudian dikembalikan kepada Jawatan Kereta Api, yang sekarang adalah PT.Kereta Api lndonesia (KAI). Sewaktu PT KAI pindah, gedung ini sempat dipergunakan sebagai kantor Wilayah Departemen Perhubungan sampai tahun 1994. Namun setelah itu, gedung dengan pemilik resmi PT KAI ini ditinggalkan kosong dan hanya dipergunakan untuk acara atau kegiatan tertentu saja, seperti pameran/expo.

Penggunaan dan pemanfaatan yang tidak bersifat permanen, dalam arti hanya difungsikan untuk kegiatan-kegiatan yang jangka waktunya tidak berselang lama. seperti pameran dan expo, tentunya akan mengakibatkan kurangnya perawatan terhadap Lawang Sewu, misalnya dalam hal kebersihan dan pemeliharaan fasilitas pendukung yang ada di dalamnya, seperti penerangan dan pengairan. Lawang Sewu hanya akan dibersihkan dan diberi penerangan lampu hanya ketika ada acara saja, namun apabila acara selesai maka Lawang Sewu kembali kotor, berdebu dan penerangannya dilepas. Kondisi Lawang Sewu saat ini masih sangat terlihat kokoh dan kuat, namun karena kosong dan tidak terpakai selama hampir 12 tahun menjadikan gedung berarsitektur Eropa ini kurang pemeliharaan dan perawatan sehingga terkesan gedung ini ditelantarkan oleh pemiliknya. Hal ini terlihat dari bagian dalam gedung yang kotor dan berdebu, gelap dan bocor apabila turun hujan. Sebagian kayu-kayunya terlihat mulai lapuk. Apabila memasuki salah satu sayap gedung nafas menjadi sesak karena debu, dan hati mcnjadi tersayat melihat kondisi bagian dalam gedung indah ini.

Pada saat saya melakukan kunjungan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) ke Bangunan Lawang Sewu pada hari Jum’at (28/10/2022), memang untuk kondisi bangunan Lawang Sewu ini nampaknya terlihat biasa-biasa saja dalam bangunannya. Untuk kondisi kebersihannya sendiri saya akui ketika berjalan di Lorong bangunannya nampak sedikit pengap dikarenakan banyaknya debu di bangunan tersebut. Tidak hanya itu saja, adanya keretakan di beberapa sudut bangunan Lawang Sewu ini semakin jelas dapat disimpulkan bahwasanya untuk bangunan Lawang Sewu ini kurang terawat dan kurang diperhatikan, padahal bangunan ini adalah termasuk bangunan Cagar Budaya.

Lawang Sewu sebagai benda cagar budaya di Kota Semarang juga tidak terlepas dari faktor-faktor penghambat dalam upaya pelestariannya. Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara dengan beberapa pihak yang terkait dengan pelestarian Lawang Sewu, selama ini ada beberapa faktor penghambat dalam proses pelestarian dan perlindungan Lawang Sewu, yaitu: Kurangnya minat investor swasta dan kontraktor dalam melakukan konservasi bangunan Lawang Sewu dengan berbagai alasan, seperti tidak menguntungkan dari segi bisnis, dan besarnya pajak; Kurangnya kesadaran terhadap arti penting keberadaan benda cagar budaya seperti rasa memiliki dan ingin melindunginya masih kurang baik para pemilik, pemerintah, investor maupun masyarakat sendiri; Belum maksimalnya aplikasi kebijakan-kebijakan Pemerintah dalam pelestarian cagar budaya termasuk Lawang Sewu. Walaupun menjadi bagian dari kebijakan yang penting, namun bukan kebijakan yang prioritas. Selain itu, pengelolaan cagar budaya saat ini menjadi monopoli pemerintah saja tanpa melibatkan peran serta masyarakat; Masih lemahnya pengamanan dan penindakan oleh aparat hukum dalam perlindungan benda cagar budaya, yaitu dengan adanya tindakan criminal, seperti pencurian dan vandalisme, sehingga ada bagian-bagian tertentu seperti keramik ataupun pintu di Lawang Sewu yang sudah hilang dan sampai saat ini tidak ditemukannya pelaku yang tertangkap padahal dalam Undang-undang No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya diatur berkenaan ketentuan pidana.

Beberapa faktor penghambat dalam pelestarian Lawang Sewu dapat diatasi dengan memperhatikan dan mempertimbangkan beberapa hal-hal sebagai berikut: Minimnya anggaran dari pemerintah daerah maupun pemilik dapat diatasi dengan membuka peluang yang sebesar-besarnya kepada investor dari dalam maupun luar negeri untuk bekerjasama dalam pengelolaan Lawang Sewu. Dalam hal tersebut tentu harus ada nilai ekonomis yang dapat dihasilkan. sebab konsep konservasi bangunan kuno dengan kampanye dan bertujuan untuk pelestarian atau pengawetan saja tentu akan sia-sia. Jadi harus ada perpaduan antara kepentingan budaya dengan orientasi ekonomis; Kesadaran masyarakat akan pentingnya benda cagar budaya harus terus dibangun. Hal ini dapat dilakukan oleh pemerintah melalui instansi terkait dengan mengadakan penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat. Selain itu, menumbuhkan kesadaran akan arti penting cagar budaya sejak dini dapat juga dilakukan melalui jalur pendidikan dan kegiatan-kegiatan di luar sckolah, seperti berkunjung ke tempat-tempat benda cagar budaya dan situs yang dilindungi; Pemerintah daerah harus memiliki kebljakan dan program kerja yang jelas berkaitan dengan pelestarian benda cagar budaya, seperti adanya kerja sama antara instansi terkait, adanya kejelasan wewenang, perangkat hukum yang lengkap khususnya yang bersifat teknik dan adanya aplikasi secara optimal yang didukung oleh peran serta masyarakat terhadap upaya pelestarian dan perlindungan benda cagar budaya yang ada; Pemerintah daerah harus melonggarkan jalur birokasi yang rumit, memberikan keringanan atau penyesuaian pajak kepada pengelola, maupun kepada pemilik bangunan sebagai akibat kehilangan potensi pembangunan karena adanya penetapan dan kontrol yang ketat sebagai benda cagar budaya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline