Lihat ke Halaman Asli

Buku Bersampul Koyak

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Bait-bait puisi, menimbun di buku usang bersampul koyak. Di dalamnya ada engkau, tertulis tak rapi dari tanganku, tintanya menguning; hening.

Tepat, sampul koyak! Terlalu lama kugenggam, untuk sejenak kubuka saat kau datang. Kenyataannya, kau hilang; aku gamang.

Sebait saja, tak sampai di matamu, pun telingamu. Satu aksara yang ingin kukenalkan kepadamu, mengenai aku.

Aku duduk di serambi rumah, memeriksa perlahan gulungan buku di genggaman. Lusuh, terlipat-lipat. Tetapi aksaranya masih tetap.

Sesekali aku menatap tajam buku lusuh dengan sampul koyak itu. Ingin kubuang. Ah, aku ini lemah. Kenangan merayuku, mudah.

Lalu kugenggam lagi, erat, seperti dulu aku menggenggam jemarimu, hangat, aku ingat itu. Semakin lusuh, semakin koyak, tetapi tetap.

Nanti, kau akan mengerti betapa puisi adalah engkau, dirimu sendiri, dan tintanya adalah aku, penulismu, perindumu.

Ingin kutambah lagi beberapa puisi. Sudah penuh, tak lagi cukup. Kuambil sehelai gugur daun, aku menuliskan namamu, di sana.

Sudah, sudah harus kusimpan rapi buku ini. Takkan kuganti sampulnya. Ia adalah pemeluk kenangan, semenjak aku mengenal kehilangan.

Di sampul koyak itu, pernah ada bekas genggam tanganmu, meski kenangan yang tertinggal adalah buang.

Kau buang, kupungut perlahan. Lalu kusimpan dengan kenang luka menganga, sampai sekarang.

Sampai sekarang !




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline