Lihat ke Halaman Asli

Generasi Milenial dalam Menghadapi Tantangan Hoaks Era Globalisasi

Diperbarui: 15 Juni 2024   23:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Era Milenial merupakan sebutan untuk orang yang lahir pada tahun 1980 sampai 2000-an. Istilah ini berasal dari kata millenials yang diciptakan oleh dua pakar sejarah dan penulis dari Amerika Serikat, William Strauss dan Neil Howe (Kemkominfo RI, 2016). Menurut World Health Organization (WHO), generasi muda adalah generasi yang berusia antara 10 sampai 24 tahun (Munasya, 2017). Generasi muda atau generasi milenial tersebut hidup di era globalisasi. Era di mana teknologi dan ilmu pengetahuan berkembang pesat karena semua kegiatan mengandalkan pemanfaatan teknologi, seperti media komunikasi dan informasi. Namun, di balik manfaat kemajuan teknologi, terdapat pula hal negatif yang dapat memicu terjadinya disintegrasi bangsa, salah satunya yaitu penyebaran berita hoax di kalangan masyarakat. Beragam hoax yang muncul tersebut menjadi fenomena baru yang harus diatasi oleh para penggunanya, terutama oleh kalangan remaja.

Hoax dan Implikasi Arus Bebas Informasi

Hoax atau berita bohong merupakan informasi palsu, namun dibuat seolah-olah suatu kebenaran. Hoax dapat tersebar melalui perilaku negatif atau penyimpangan sosial dari kebebasan seseorang dalam berbicara dan berpendapat di media sosial. Media sosial saat ini hampir tidak semuanya dipenuhi dengan beragam hoax, isu-isu SARA, ujaran kebencian (hate speech), provokasi, fitnah, sikap intoleran, dan bahkan anti Pancasila. Keberadaan hal-hal negatif tersebut sangat memprihatinkan, sebab dapat mengancam keutuhan bangsa. Lebih dari itu, beberapa media mainstream (cetak dan digital) bahkan secara sengaja menyebarkan berita dan informasi palsu untuk tujuan politik tertentu.  

Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), terdapat sekitar 800 ribu situs yang memproduksi hoax di internet. Subdirektorat Cyber Crime Polda Metro Jaya menyebut sekitar 300 konten media sosial telah menyebarkan hoax yang kebanyakan diproduksi para buzzer politik, dan bahkan tidak jarang menggunakan nama menyerupai media yang terverifikasi. Ruang siber telah menjadi jawaban dari impian untuk melampiaskan kebebasan berkomunikasi, mendapatkan dan menyebarluaskan informasi (free flow of information) serta kebebasan mengemukakan pendapat (freedom of speech) tanpa mengindahkan lagi norma-norma yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Arus bebas informasi berimplikasi pada percepatan lalu lintas informasi di ruang maya. Setiap orang akan sangat mudah mendapatkan, memproduksi dan menyebarkan informasi melalui beragam jenis media yang terus tumbuh dan berkembang. Sebut saja misalnya website, blog, media sosial seperti facebook, twitter, Instagram, whatsapp, dan bentuk media sosial lainnya. Permasalahan yang muncul dari cepatnya lalu lintas informasi tersebut yaitu filter dan chrosscheck atas konten informasi yang diperoleh, diproduksi, dan disebarluaskan tersebut menjadi terabaikan (Ningrum, 2019).

Berita hoax yang sempat beredar di dunia maya dan viral di kalangan masyarakat Indonesia beberapa waktu lalu ialah berita tentang vaksin Pfizer yang diyakini beracun dan berbahaya karena mengandung kalium klorida (potassium chloride) yang digunakan untuk suntik mati di penjara Amerika Serikat. Berbeda hal nya fakta yang diperolah dari Kementrian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia (Kemkominfo RI, 2021) yang menjelaskan bahwa berdasarkan BPOM Amerika Serikat, setiap dosis vaksin Pfizer memang mengandung 0.01 miligram kalium klorida. Profesor Fakultas Keperawatan Purdue, Libby Richards, menyatakan bahwa bahan tersebut dipilih dengan cermat dan diteliti secara ketat untuk keamanan masyarakat. Jumlah kadar kalium klorida yang ditemukan dalam vaksin Pfizer sangat kecil dan dianggap sebagai jumlah yang aman bagi tubuh. Profesor Purdue juga menyebutkan bahwa kalium klorida ditemukan di hampir semua makanan yang kita makan seperti daging, buah-buahan, sereal, keripik dan susu formula.

Berita palsu lainnya yang juga sempat viral tersebar pada pertengahan tahun 2020. Publik telah dirugikan dengan berita akun instagram yang mengatasnamakan Kartu Prakerja. Kemkominfo RI mengklarifikasi bahwa akun instagram yang mengatasnamakan Kartu Prakerja dengan ciri profil tertentu dan mencantumkan Email prakerja yakni 'grsapps@gmail.com', serta nomor Whatsapp: 087811819321 merupakan akun palsu (Kemkominfo RI, 2021).

Hoax dalam Hukum Positif dan Hukum Islam

Arus informasi melalui media maya pada dasarnya telah diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).  UU tersebut mengatur perlindungan atas kegiatan yang memanfaatkan teknologi, termasuk kegiatan lewat sosial media yang berhubungan dengan informasi atau komunikasi. UU ITE mengatur mengenai sanksi bagi seseorang maupun kelompok tertentu yang menyalahgunakan teknologi dengan cara penyebaran berita hoax (Irpan, 2020). Pelaku penyebaran hoax diatur dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, menyatakan: "Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik". Sanksi atas pelanggaran pasal tersebut diatur dalam Pasal 45A Ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2016, yaitu: "Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita yang bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan / atau denda paling banyak Rp 1 miliar". (Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, 2016)

Hoax sebagai bentuk pembohongan terhadap publik merupakan perbuatan yang tidak dibenarkan dalam agama Islam. Pembuat hoax telah merugikan orang lain dan hoax yang dibuatnya dikategorikan sebagai adits al-ifk atau cerita dusta (Ahmad & Hotimah, 2018). Lebih dari itu, dalam Surah an-Nur Ayat 11-12 Allah SWT mengancam pembawa berita paslu dengan azab yang pedih.

Dampak dan Identifikasi Hoax

Berita hoax yang merebak di media sosial, telah memberikan dampak negatif yang sangat besar. Di antaranya yaitu pertama, merugikan masyarakat. Berita-berita hoax yang berisi kebohongan dan fitnah secara langsung dan tidak langsung berdampak pada kondisi psikis dan fisik setiap orang. Efek yang ditimbulkan oleh berita palsu terus menerus sehingga dianggap sebagai kebenaran tentu berimbas pada pola pikir masyarakat. Kedua, memecah belah publik. Berita bohong yang disebarkan, baik mengatasnamakan kepentingan politik maupun organisasi agama tertentu, berimbas pada pengkotakan kelompok-kelompok. Setiap kelompok mengklaim kebenaran tertentu dan di saat yang sama menyalahkan dan bahkan menyerang kelompok lain yang dianggap salah. Dampak negatif ketiga, mempengaruhi opini publik. Hoax menjadi pemicu utama kemunduran masyarakat. Keempat, mendiskreditkan salah satu pihak, sehingga mengakibatkan konflik terhadap sesama masyarakat. Kelima, menciptakan ketakutan terhadap masyarakat. Kalangan awam merupakan golongan yang paling dirugikan oleh berbagai dampak negatif tersebut. Upaya untuk meredam berita hoax dengan demikian sangat diperlukan agar masyarakat kembali sadar dan berhati-hati (Maulana, 2017).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline