Lihat ke Halaman Asli

Buang Air Kecil Itu di Kamar Mandi bukan Di Kelas

Diperbarui: 22 September 2015   12:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebuah kasus memalukan di dunia pendidikan di Indonesia berhasil dikuat menristek baru-baru ini. Pembokaran kasus wisuda abal-abal dalam hal ini tidak mengikuti prosedur dan ketetapan yang telah dibuat oleh standar direktorat jenderal pendidikan atau sekarang kementrian risert dan teknologi. Betapa tidak masalah, ratusan orang dimaktubkan sebagai manusia sarjana tanpa melalui proses pembelajaran sama sekali siap diedarkan di dunia kerja di Indonesia. Namun kali nasib baik berpihak pada negeri ini, sehingga ratusan orang yang menaruh asah dalam gelar fiktif berhasil digagalkan.

Fakta umum telah membuktikan teori bahwa pendidikan adalah suatu yang akan memperbaiki kualitas sumber daya manusia, namun apa jadinya jika pendidikan dijadikan segelintir orang sebagai kedok dalam menempatkan diri pada status yang katanya berpendidikan dengan cara yang sangat tidak berpendidikan. Ijazah palsu, Jika sebuah Negara dibuatkan sebuah pilar makan pilar itu adalah pendidikan, runtuhnya pendidikan dalam suatu Negara adalah keruntuhan kemajuan dari Negara itu sendiri. Permasalahan menjadi lebih pelik, ketika calon penerima ijazah palsu bahkan tidak mengenal bangku kuliah sama sekali. 140-an sks atau setara dengan gelar strata satu diraih tanpa “bersimbah darah” dengan kajian keilmuan atau sebagian dari mereka bahkan hanya duduk manis dirumah.

“Juru bicara menristek menemukan bahwa salah satu dari ratusan wisudawan abal-abal bahkan tidak mengenal kampus tempat mereka kuliah (minggu, 21 September 2015)”

Sumber seluruh masalah.
Berbicara mengenai pendidikan, sangat erat kaitannya dengan pendidik dalam hal ini dosen ataupun guru. Ranah pendidikan formal yang diwajibkan selama Sembilan tahun bagi seluruh warga Indonesia menunjukkan betapa sadarnya akan kebutuhan akan pendidikan untuk kemajuan bangsa ini. Jika pernyataan ini dikaitkan dengan pernytaan menganai pentingnya pendidikan pada paragraf sebelumnya, maka Guru adalah ujung tombak yang memegang peran penting dalam melaksanakan dunia pendidikan di Indonesia.

Pada hari sabtu (Sabtu, 20 September 2015) di salah satu forum yang berisi pendidik, saya melempar suatu isu bahwa komptensi akan di uji secara periodik untuk menguji kelayakan pendidik dalam mengajar. Hampir 100 persen respon negatif, cemas, takut dan beberapa diantaranya bahkan menunjukkan respon marah.

Fakta ini sungguh ironi, Pendidik dalam hal ini orang menyiapkan orang lain agar mampu untuk lulus tes entah bersifat teoritis maupun praktis, malah menjadi orang yang takut dengan sebuah uji kompetesi. Tujuan dari professional guru yang terbersit bahwa guru adalah profesi hanya sebatas “Gaji sertifikasi” semata. Logika sederhana menenujukkan bahwa bagaiman cara seseorang mengajar cara membuat kursi jika yang mengajar saja tidak tau cara membuat kursi. Hasilnya semakin bermasalah ketika mereka yang memberi respon negative mungkin salah satu dari pengguna ijazah abal-abal.

Ada sebuah pepatah yang mungkin masih berlaku hingga saat ini yang sudah tidak asing lagi yakni “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Tapi menurut hemat say,  mungkin saat ini sedikit lebih nyeleneh, yakni “Guru kencing berdiri, Murid kencingi Guru”. Semoga pepatah ini hanya ada dipikiran saya, karena buang air seni itu dilakukan di kamar kecil bukan di ruangan kelas atau diruangan seminar pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline