Lihat ke Halaman Asli

Rasa di Balik Rasa 1

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Perjalanan suci ini membawa Cherry Pattisemia ke pelupuk mata yang memerah di tengah biasan surgawi, terkikiskan harapan yang selama ini di genggamnya menciptakan garis lurus terbentuk untuk mengkisahkan hatinya. Hujan ini masih menyisakan kesedihan mendalam, menyisakan alam yang terbentang menghijau yang luput terbatas penglihatan jiwa dan raga sang pemilik kisah.

Siapa sangka kisah yang terbentuk berawal dari ketidaksengajaan, sembilu yang mengiris, teriakan lancan dengan bertelanjangkan dada lelaki itu berdiri dengan wajah yang sangar, memecahkan suasana hati.

“dimanakah rasa itu berada? Dimana malaikat yang menari di kebun berbunga yang menyebaran serbuk sari pati dengan bantuan semilir angin, yang menghempaskan hingga ia terjatuh pasrah di tanah yang lembab hingga menjamin kehidupan untuk selanjutnya? Apakah pencipta rasa itu melupakan rasa ? Ataukah hambanya yang tak pernah memiliki rasa dan tak kan pernah tahu dimanakah rasa itu berada? Tantang lelaki itu ditengah keramaian orangyang tak tahu menahu arti kesosialan meskipun ia bukan anti dan fanatik terberat dengan aliran marxisme.

Semua yang hadir pada saat itu melihatnya miris dan menggelangkan kepala, seakan laki-laki yang berbicara di depan mereka adalah orang yang tak waras dan jauh dari ketidaksempurnaan bagi mereka yang berakal.

Kenapa melihatku? Apakah aku salah ketika mengutuk tuhanku? Apakah agamamu memiliki rasa dan memberikan kepada seluruh penganutnya? Apakah aku hina ketika mengotori mulutku dengan sumpah serapah atas cacian kepada pencipta rasa? Apakah aku salah, jawab… kalian semua jawab.

hei.. kamu anak muda yang berjilbab ungu, apakah dengan jilbab anggunmu mampu menciptkan keindahan itu?, ataukah hanya memanjakan mata untuk menciptakan kesan bahwasanya kau adalah seseorang yang taat dan selalu menjalankan perintah tuhanmu?. Umpat laki-laki itu menatap dengan tajam kepadaku. Aku pun tak menghiraukan umpatan laki-laki tadi, seakan tak ada yang terjadi, tapi kata-kata tadi masih terngiang-ngiang dalam perasaanku hingga sampai ke tempat tujuanku.

Semuanya berawal dari pembuktian dan akan berakhir pada penghujung yang melegakan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline