Belakangan ini, pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan perubahan dalam pendidikan di Indonesia. Berbagai kebijakan mengenai pendidikan sudah banyak dikeluarkan oleh pemerintah pada tahun ajaran 2017-2018 ini, mulai dari penambahan jumlah soal penalaran dalam Ujian Nasional dan Ujian Sekolah Berstandar Nasional hingga kebijakan mengenai Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berbasis zonasi. Semua kebijakan tersebut diambil oleh pemerintah untuk satu tujuan puncak, yaitu demi terciptanya generasi Indonesia yang cerdas, intelektual, berkarakter, dan berintegritas melalui pemerataan mutu pendidikan.
Banyak kebijakan yang dikeluarkan bukan berarti kebijakan-kebijakan tersebut tidak ada yang menentang. Walaupun pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) beralasan bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil merupakan salah satu upaya Indonesia untuk menyelaraskan tren internasional atas pendidikan, banyak yang beranggapan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut belum siap diberlakukan di negara yang kondisi wilayahnya beragam. Salah satu kebijakan yang kontroversial adalah mengenai soal HOTS dalam UN dan USBN, banyak masyarakat, baik dari kalangan pelajar maupun para pakar, yang beranggapan bahwa kebijakan mengenai penambahan jumlah soal penalaran (Higher Order Thinking Skill -- HOTS) menjadi 10-15% dari jumlah soal belum siap diterapkan di Indonesia karena mutu pendidikan di berbagai daerah di Indonesia belumlah sama dan soal HOTS terlalu membuat siswa menjadi stres karena tidak terbiasa mengerjakan soal-soal penalaran yang sulit dan complicated.
Tak cukup sampai kebijakan mengenai soal penalaran dalam UN dan USBN, sekarang sedang ramai diperbincangkan mengenai zonasi dalam sistem PPDB. Menurut Permendikbud No.14 Tahun 2018, yang harus menjadi pertimbangan dalam PPDB bukanlah nilai (dalam konteks ini adalah nilai UN ataupun penilaian-penilaian lainnya), melainkan jarak dari sekolah ke rumahlah yang menjadi pertimbangan utama dalam seleksi masuk sekolah negeri.
PPDB 2018: Upaya Pemerataan Pendidikan
Pemerataan pendidikan merupakan salah satu alasan dari pemberlakuan sistem zonasi dalam PPDB tahun 2018 ini. Melalui PPDB ini, pemerintah berharap bahwa melalui pemerataan jumlah siswa yang masuk ke sekolah akan tercapai pula pendidikan yang merata, tanpa adanya sekolah yang elit dan favorit. Lantas, apakah bisa pemerataan pendidikan dilakukan dengan demikian?
Pemerataan pendidikan melalui pemerataan jumlah siswa bukanlah hal yang tepat apabila kita simulasikan siswa dan guru dalam sebuah variabel penelitian. Siswa dikategorikan sebagai variabel yang dependen (dapat berubah tergantung variabel independen), sementara guru beserta infrastruktur pendidikan dikategorikan sebagai variabel yang independen (berdiri sendiri, mandiri). Apabila gurunya berkualitas dan ditopang dengan infrastruktur pendidikan dan lingkungan yang bagus, maka siswanya akan menjadi siswa yang unggul, intelektual, dan berkarakter. Dari hal ini, dapat disimpulkan bahwa pemerataan pendidikan seharusnya dimulai dari pemerataan guru atau tenaga pendidik dan infrastruktur pendidikan, bukan dari pemerataan siswanya.
Mengapa Ada Sekolah Unggulan?
Pada hakikatnya, menurut PPDB berbasis zonasi, seluruh sekolah adalah sama. Tidak ada hal yang berbeda dari tiap-tiap sekolah. Namun pada praktiknya, tentu saja hal ini tidaklah benar. Setiap sekolah mempunyai infrastruktur, kualitas tenaga pengajar, dan lingkungan yang berbeda. Ketiga hal tersebutlah yang membuat beberapa sekolah dianggap sebagai sekolah unggulan dan atau favorit karena hal-hal tersebut merupakan hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan sekolah. Tentu siapa yang tak mau menempuh pendidikan di sekolah yang gurunya berkualifikasi dan bermutu tinggi, fasilitasnya memadai, dan lingkungan sekolahnya yang aman dan kondusif.
Untuk jenjang pendidikan menengah atas, khususnya SMA, terdapat hal lain yang harus dipertimbangkan untuk memilih SMA yang akan dituju, yaitu rekam jejak sekolah dan jumlah siswa yang diterima di PTN melalui jalur SNMPTN (Undangan). Rekam jejak sekolah dan jumlah siswa yang diterima untuk melanjutkan pendidikan di PTN melalui SNMPTN merupakan hal yang saling berhubungan karena biasanya semakin bagus rekam jejak sekolah dan alumni sekolah tersebut, semakin banyak pula jumlah siswa yang diterima melalui jalur SNMPTN. Biasanya, sekolah-sekolah favoritlah yang biasanya mempunyai banyak siswa yang diterima melalui SNMPTN, hal ini menjadi daya tarik tersendiri dari sekolah favorit.
Ketika saya menghadiri suatu seminar mengenai PPDB yang diselenggarakan oleh salah satu bimbingan belajar kenamaan di Kota Bogor, salah satu pembicaranya yang merupakan pejabat dinas pendidikan, mengatakan bahwa yang membuat sekolah favorit itu adalah para orangtua sendiri. Ia mengatakan sekolah favorit ada karena para orangtua menganggap sekolah itu unggul dan favorit, padahal sekolah-sekolah negeri lain di Kota Bogor adalah sama secara akreditasi dan setiap sekolah juga mendapatkan bantuan operasional pendidikan dalam jumlah yang sama. Akreditasi dan jumlah bantuan yang diberikan memang sama, tetapi apakah lingkungan pembelajaran dan sosialisasi siswa juga sama? Lingkungan merupakan faktor pembentuk kepribadian remaja yang sangat krusial, apalagi di kota-kota besar yang rawan terjadinya keributan antar sekolah. Apabila siswa masuk dalam lingkungan pergaulan yang salah, maka kepribadian dan pergaulan remaja pun akan rusak.
Celah Hilangnya Integritas