Lihat ke Halaman Asli

Mengembalikan Esensi Pers yang Sesungguhnya

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Oleh: Dzaki Sholihin

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang menganut asas demokrasi. Asas yang menganut pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Salah satu ciri sebuah negara yang menganut asas demokrasi adalah memberikan kebebasan berpendapat yang seluas-luasnya bagi seluruh rakyatnya. Masyarakat bebas memberikan opini, usulan, saran terhadap keberlangsungan demokrasi dalam lingkup berbangsa dan bernegara.

"Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.". begitulah bunyi pasal 28E ayat 1. Pasal tersebut semakin menguatkan kebebasan berpendapat di Indonesia. Kebebasan berpendapat telah diatur dalam Undang-Undang, sehingga memiliki legitimasi kuat di dalam hukum dan konstitusional. Artinya, ketika ada pembatasan kebebasan mengemukakan pendapat maka telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Ketika tidak semua orang bisa menjadi anggota dewan yang dapat memberikan pendapat pada rapat-rapat yang ‘katanya’ membahas tentang kesejahteraan dan kemaslahatan bangsa Indonesia, sebagai representasi dari seluruh rakyat Indonesia. Cara yang paling umum yang digunakan dalam menyuarakan pendapat adalah lewat pers yang ada di Indonesia. Lewat media massa, rakyat berjuang menyuarakan aspirasinya. Segala bentuk media massa yang dapat digunakan seperti koran, majalah, televisi, radio dan media yang lain semakin memberikan ruang yang sebesar-besarnya kepada rakyat Indonesia dalam mengemukakan pendapat bagi kemajuan bangsa Indonesia.

Jika kita mau untuk menilik kembali sejarah perjuangan rakyat Indonesia dalam memperjuangkan kebebasan berpendapat, maka kita akan menemukan esensi kebebasan berpendapat dan pers yang sesungguhnya. Pada masa pergerakan pra kemerdekaan, ketika bangsa Indonesia masih berada dibawah belenggu penjajahan bangsa Belanda dan Jepang. Setelah munculnya pergerakan Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908, perjuangan pers merupakan tonggak sentral yang mengarahkan opini publik tentang arti penting kemerdekaan suatu bangsa. Lewat tulisan-tulisan para jurnalis terdahulu yang meyakinkan masyarakat untuk bersatu berjuang bersama melawan para penjajah bangsa Indonesia. Pers berani menyuarakan kepedihan, penderitaan, dan merupakan sebuah refleksi isi hati bangsa yang terjajah.

Berlanjut pada masa setelah kemerdekaan, pers kembali menjadi alat perjuangan bangsa Indonesia dalam menyuarakan aspirasi rakyat. Namun ketika pemerintahan orde baru, kebebasan pers sangat dibatasi. Pers menjadi alat pemerintah dalam mengarahkan opini rakyat. Seluruh media massa yang dirasa tidak pro pemerintah diretas dan dibatasi ruang geraknya. Sehingga pers bukan lagi sarana aspirasi rakyat Indonesia yang pro rakyat. Karena gejolak yang terjadi di masyarakat terhadap rezim yang berkuasa ketika itu, maka meletuslah reformasi tahun 1998. Setelah itu, pers kembali dikembalikan ke fungsi pers yang sesungguhnya sebagai penyalur aspirasi rakyat yang netral dan memiliki ruang lingkup yang luas.

Sekarang seluruh rakyat Indonesia telah diberikan kemerdekaan dalam menyarakan aspirasinya. Pers benar-benar diberikan ruang yang seluas-luasnya sebagai sarana aspirasi masyarakat. Namun yang menjadi permasalahannya, sekarang pers malah sebagai alat para penguasa media untuk membuat opini publik yang salah. Pers sekarang hanya masalah siapa pemiliknya. Meciptakan dua kubu yang terus berlomba mencari simpati rakyat. Pers yang seharusnya bersikap netral dalam memuat aspirasi rakyat, kini beralih menjadi sarana saling menjatuhkan antar lawan seiring memanasnya politik di Indonesia.

Maka perlu adanya upaya untuk mengembalikan esensi pers yang sebenarnya. Memberikan berita yang sehat yang dapat menjadikan masyarakat terus berfikir kritis. Masyarakat dapat memilih sendiri mana yang terbaik bagi bangsanya tanpa disuapi isu-isu negatif dari sang penguasa media. Karena sejatinya rakyat bukan robot ataupun boneka yang dapat dimainkan oleh sang penguasa dengan iming-iming kesejahteraan bangsa.

Salam cinta untuk bangsa Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline