Lihat ke Halaman Asli

Abdullah Dzakir Ahmad

lama fakum menulis

Satpol PP Vs Pedagang Asongan ( menilik konflik dua kelompok yang sering terjadi di negeri ini )

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Mungkin di benak para sahabat ‘pembaca’ sudah tidak asing lagi dengan dua kata ini, Satpol PP dan Pedagang asongan atau yang lebih lumrah kita sebut dengan pedagang kaki lima. Ya, agaknya semua sahabat mulai mengenal dua karekteristik yang penuh perbedaan itu. Satpol PP kita kenal sebagai satuan kepolisian yang tugasnya mentertibkan jalan dari gangguan-gangguan agar jalan terlihat lebih rapi dan meminimalisir terjadinya kemacetan jalan, sementara pedagang asongan adalah musuh bebuyutannya, yakni orang-orang yang dianggap kesatuan itu paling ngeyel dari penerobos lampu lalu lintas sekalipun. Mengapa? Sebab jika ada pembersihan jalan (termaksud pedagang kaki lima) maka hasil usaha keatuan polisi ini nyaris hanya bertahan tiga hingga lima hari, setelah itu orang-orang yang tadinya sudah dibasmi layaknya nyamuk demam berdarah ini menampakkan batang hidungnya kembali sehingga membutuhkan proyek pembersihan kembali yang betul-betul akan menguras tenaga mereka.

Kita sama-sama tahu, bahwa antara dua label yang dilekatkan pada kedua obyek cerita saya tadi akan sangat memiliki perbedaan, tentunya sangat jauh pula, meminjam kata-kata herlina setiawati dalam buku ‘mari ajaklah hatimu bicara’ “perbedaan kita sangat jauh, mungkin antara tingginya gunung dengan paling dasarnya lautan” kata-kata ini mungkin bagi sahabat terlalu melankolis tapi tak apalah toh hanya contoh bukan. Bahwa Satpol PP sebagai salah satu perangkat Negara yang memiliki seragam hijau lumut dan dipercaya untuk menjalankan tugas seperti mentertibkan jalan tadi, smentara pedagang asongan penampilan ala kadarnya, menarik atau mendoong gerobak yang sedemikian berat dengan benda-benda yang diperjual belikan.

Maslahnya sekarang, beberapa pristiwa yang sering mempertemukan dua kelompok ini (Penggusuran Paksa. Doc. RCTI September 2011), yang pada akhirnya sering terjadi kekisruhan yang tak dapat dielakkan begitu saja, hingga anti klimaksnya terjadi baku hantam, gerobak di tahan, warung yang berdiri tanpa izin dirobohkan, sang istri dari pedagang asongan pun hanya bisa menangis dan terkadang sampai mencak-mencak.

Beberapa waktu belakangan sempat saya menyaksikan sendiri ada salah satu perangkat Negara yang dimaksudkan (Satpol PP) melabrak pedagang asongan yang setiap harinya menjual jagung rebus di pinggiran jalan, mau tidak mau karena mungkin takut atau keteteran melihat tubuh tegap si Satpol PP tadi, akhirnya dengan pasrah orang tersebut menghindar serta mencari tempat lain untuk berjualan. sempat saya mendengar beberapa omelan-omelan si pedagang asongan tersebut, tapi yang paling menarik adalah omelannya yang berbunyi demikian “huh, mentang-mentang jadi polisi, sak karepe ngusir-ngusir, iyo awakmu digaji tetep karo pemerintah, lha aku? Sopo sing mau gaji? iya kalau daganganku laku? Lah kalu nggak? Anakku mau tak kasih makan batu? Hidup ning kene kok yo susah malah ditambah susah!!” itulah pisu-pisu yang sempat saya dengar dan saya bilang menarik untuk dipublikasikan dalam tulisan saya.

Bagi seorang filsuf seperti karl max, kasus demikian adalah sebuah penindasan dari golongnan berpangkat (atas) ke golongan di bawahnya. Karl max memang membagi dua tipe masyarakat dalam kehidupan yang berlangsung, pertama kaum borjuis dan ke dua kaum proletar. Sekalipun karl max mendevinisikan kaum borjois adalah orang-orang yang memiliki modal, namun contoh disini saya kira bisa dimasukkan dalam teorinya. Mengapa? Sebab Satpol PP yang tadi saya contohkan, jika kita analis secara kepangkatan adalah jauh di atas pedagang kaki lima, pun Satpol PP juga adalah orang yang dianggap memiliki kekuasaan terhadap tanah (lingkungan yang sering digunakan untuk berdagang oleh kaum pedagang) sehingga para kaum pedagang kiranya tidak memiliki kekuatann atau mampu untuk melawan jika tiba saatnya mereka harus terusir dari daerah yang sering mereka gunakan utuk mengais rizki.

Sejauh pengamatan saya, jika kedua kelompok ini dipertemukan selalu saja terjadi kekisruhan di awal maupun di akhir pertemuan, maklum saja, sebab para kaum pedagang merasa sangat diberatkan jika harus berpindah tempat dari lokasi biasanya, apalagi lokasi itu sangat menjanjikan pengunjung. Menurut para kaum pedagang tentunya hal ini sangat merugikan, apalagi ditambah dengan perusakan-perusakan yang sering dilakukan oleh pamong praja ini, entah gerobak disita maupun terkadang sampai dirusak (ditendang, dibanting dan semacamnya) hal ini seharusnya mendapat perhatian khusus dari pemerintah, sebab jika tingkah Satpol PP sering terulang bukan tidak mungkin akan ada bentrok besar-besaran antara kelompok pedagang dan kelompok pamong praja yang nantinya akan berefek pada ketidak amanan suatu wilayah.

Jika hal ini tak kunjung mendapat sebuah jalan keluar, barang tentu keinginan dari para kaum pedagang untuk bisa hidup layak nantinya bernilai mustahil sebab selalu saja ada yang menganggu mereka bekerja, atau bahkan akan ada kelompok-kelompok yang terlahir dari kaum pedagang karena kesadaran kolektif mereka yang merasa didholimi oleh kelompok pamong praja sehingga menimbulkan keinginan untuk menyerang. Bagi karl max apa yang akan dilakukan oleh kaum dagang bisa dibenarkan, sebab Satpol PP seyoginya hanya bisa merusak dan mengusir kaum dagang dari area yang sejatinya benar-benar menjanjikan bagi kehidupan mereka tanpa bisa atau memberi sebuah solusi.

Semestinya dari konflik antar dua kelompok ini ada penengah yang dapat memberkan jalan keluar yang cenderung buntu sejak dulu, pemerintah adalah orang yang tepat, sebab selain pemerintah adalah orang memiliki program-program yang janjinya akan mensejahterakan rakyat kecil macam pedagang asongan, juga seharusnya pemerintah mampu menyediakan tempat atau area yang bisa dihui oleh para kaum pedagang kaki lima untuk mengais rizkinya, jika pemerintah bisanya hanya memerintahkan (menggusur pedagang kaki lima agar tidak terjadi macet) tentunya jangan salahkan rakyat kecil jika mereka tetap saja kecil (miskin), juga jangan salahkan mereka jika suatu saat akan ada genderang perang antara kaum pedagang vs Satpol PP, sebab pemerintah yang diyakini bisa memberikan jalan keluar malah diam saja melihat kemelaratan rakyatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline