Lihat ke Halaman Asli

Sekarang, Apa Beda Bank Dengan Rentenir?

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1413293448620303356

[caption id="attachment_366426" align="aligncenter" width="700" caption="By : http://kelompokternakpucakmanik.blogspot.com"][/caption]

Dikalangan dunia perbankan dikenal istilah Net Interest Margin (NIM), yang diartikan sebagai pendapatan bunga bersih dibagi dengan rata-rata jumlah kredit yang diberikan kepada debitur yang dinyatakan dalam prosentase. Pendapatan bunga bersih itu sendiri diartikan sebagai selisih yang didapat antara bunga yang diperoleh dari debitur dikurangi bunga yang dibayarkan kepada nasabah (tabungan, giro, deposito). Jadi cara menghitung NIM, misalnya rata-rata jumlah kredit yang diberikan 1000, pendapatan bunga kredit 70 dan bunga simpanan yang dibayarkan 30 maka NIM nya adalah = (70 – 30) / 1000 x 100% = 4%. Yang jelas menurut data Tinjauan Moneter BI menyebutkan bahwa NIM perbankan nasional itu sepanjang tahun 2013 rata-rata sudah mencapai diatas 5%.

-----

Disini kita tidak membicarakan soal NIM karena itu urusan kesehatan bank, yang mau kita sorot disini adalah mengapa rata-rata perbankan di Indonesia khususnya bank swasta itu umumnya terlalu tinggi dalam memberikan bunga pinjaman kepada para debiturnya?, padahal dana yang didapatnya dari simpanan nasabah dibayar dengan bunga yang murah, katakanlah giro paling tinggi hanya 1%, tabungan paling tinggi hanya 3% dan deposito paling tinggi hanya 7%. Data menunjukkan bahwa pada semester kedua tahun 2013, rata-rata suku bunga kredit korporasi (wholesale) adalah sebesar 10,46%, sedangkan rata-rata untuk kredit kecil dan menengah (Ritel) adalah sebesar 11,61% dan kredit mikro 14,01%. Bunga paling tinggi untuk kredit korporasi adalah 14,89%, sedangkan untuk kredit ritel bunga tertinggi 18,25%, sedangkan bunga kredit mikro tertinggi sebesar 37,37%, prosentase tersebut dalam hitungan per.annum atau per.tahun.

-----

Jika kita kaitkan antara besarnya bunga simpanan dan besarnya bunga pinjaman diatas maka bisa dikatakan bahwa perbankan nasional kita terlalu banyak ambil untung, mengapa demikian?. Rata-rata bunga simpanan adalah 1+3+7 = 10 : 3 = 3,3%, sedangkan rata-rata bunga pinjaman 10,46 + 11,61 + 14,01 = 36,08 : 3 = 12%. Jadi modal bank adalah 3,3%+ 4% (angka 4% itu adalah estimasi biaya operasional total) = 7,3%, demikian keuntungan bersih bank sebetulnya adalah 12% - 7,3% = 4,7%. Ini keuntungan minimal karena ada beberapa bank swasta yang memberikan bunga kredit untuk UKM paling tinggi sampai sebesar 18,25% dan untuk kredit mikro ada yang membebankan paling tinggi bunganya sampai dengan 37,37%. Kalau bunga pinjaman rata-rata 12% dan tingkat keuntungan bank sebesar 5% maka itu masih bisa dikatakan cukup wajar, bisa dimaklumi karena memang mereka bukanlembaga nirlaba.

-----

Yang jadi masalah kalau bunga pinjaman yang dibebankan bank itu sampai melebihi diatas 15% maka ini sudah tidak wajar lagi, mengingat harga pokok penjualannya hanya 7,3% saja dan angka itu sudah standar umum bagi bank. Misalnya kita ambil contoh bunga pinjaman yang dibebankan 18,25% itu maka keuntungan bank akan menjadi 18,25% - 7,3% = 10,95% dan lebih gila lagi kalau kita menggunakan hitungan pakai bunga pinjaman paling tinggi untuk usaha mikro yang sebesar 37,37% itu, singkat saja keuntungannya akan menjadi sebesar = 30,07% dan pembebanan bunga kepada debitur UKM atau Mikro tersebut sudah sama saja dengan bunga yang dibebankan oleh para rentenir, dan tindakan bank disini kurang lebih sama saja dengan rentenir itu sendiri, cuma saja mereka berkedok operasi sebagai sebuah bank, itu bedanya.

-----

Hitung-hitungan diatas adalah hitung-hitungan bodoh dari penulis sebagai seorang pelaku UKM, kalau para konglomerat pemilik bank memang punya rasa kebangsaan yang tinggi, maka perilaku mereka yang tamak menguras bunga pinjaman dari pengusaha UMKM itu tidak akan mereka lakukan, karena hakekatnya pemberian kredit itu punya misi sangat mulia, yakni secara multiplier effect akan menambah kesempatan kerja dan kesempatan berusaha bagi sebagian rakyat Indonesia, khususnya kami para pelaku UMKM. Kalau mereka mau ambil bunga tinggi maka ambil saja dari kalangan pengusaha wholesale, karena keuntungan usaha mereka cukup tinggi jika dibandingkan beban biaya operasionalnya dan harga jual bisa dinaikkan sesuka mereka, ini kebalikan dari pengusaha UMKM yang keuntungannya relatif kecil namun menanggung beban biaya operasional cukup besar. Bagi seorang pelaku UMKM bunga besar itu tidak bisa dinegosiasikan, mereka hanya pasrah saja apapun kebijakan pihak bank yang penting bagi mereka kreditnya bisa cair, bargaining power mereka memang tidak ada, makanya perlu lembaga seperti OJK itu yang bisa berperan untuk mengayominya.

-----

Seharusnya pihak OJK (Otoritas Jasa Keuangan) bisa mengkaji dan mendalami fenomena bunga tinggi ini, bila perlu memberikan satu patokan bunga bagi pihak perbankan (khususnya bank swasta) dalam memberikan kredit kepada pelaku UMKM, misalnya tidak boleh lebih dari 5% diatas bunga acuan BI Rate yang 7,5%, jadi paling tinggi bunga pinjaman UMKM dipatok sebesar 12,5% saja. Juga tentang jaminan tambahan khusus bagi UMKM hendaknya diberlakukan jaminan tambahan minimal sebesar 50% dari maksimum kredit asalkan memang usaha mereka likuid, solvabel dan bankable sehingga layak untuk diberikan kredit. Pihak OJK juga bisa study banding dengan negara-negara lain, berkemungkinan tingkat bunga kredit pinjaman UMKM yang menduduki ranking pertama tertinggi di dunia hanya ada di negara kita Indonesia tercinta ini. Wallahualam.

-----

Bandung, 15 Maret 2013

-----

+++TARI+++


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline