Lihat ke Halaman Asli

Pemikul Tandu Jendral Sudirman yang Terlupakan

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1416222663305494066

Kalian mungkin tidak akan lupa dengan foto di atas karena selalu muncul dalam buku – buku bernuansakan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Ya, beliau adalah Panglima Sudirman yang terkenal atas perang gerilyanya.

1416221757178252122


Tapi tunggu, apakah kalian juga mengenal orang ini? Mungkin banyak yang menjawab ‘tidak’. Tentu saja, termasuk saya yang baru saja mengetahui fakta tentang orang ini kemarin. Nama orang tersebut adalah Djuwari. Tak nampak kegagahan pemuda berumur 21 tahun yang 61 tahun yang lalu memanggul Panglima besar kita, Jendral Sudirman. Tapi coba kalian pandang lebih dekat foto di atas, tampak sisa – sisa kepahlawanan Djuwari. Sorot mata kakek 13 cucu itu masih menyala, berkobar menunjukkan semangat perjuangan kemerdekaan. Sang pemanggul tandu Panglima Besar itu mengenakan baju putih yang teramat lusuh dan juga tidak dikancingkan. Karena mungkin satu per satu kancingnya telah lepas, rapuh dimakan usia. Angin pegunungan serta mata manusia bebas mamandang badan kurus keriputnya. Celana pendek yang dipakainya juga tak kalah lusuh dengan bajunya. Kehidupan Djuwari juga tak kalah lusuh dibanding baju serta celana yang dipakainya. Kediamannya di Dusun Goliman masih berdinding anyaman bambu dan belum dilengkapi dengan lantai.
Djuwari selalu bercerita kepada orang – orang bahwa memanggul tandu Pak Dirman (panggilannya kepada Jendral Sudirman) adalah kebanggaan yang sangat luar biasa. Kakek yang sudah mempunyai tiga cicit itu mengaku jika menjadi pemanggul tandu Sang Jendral merupakan sebuah pengabdian. Semua itu dilakukannya dengan rasa ikhlas tanpa berharap imbalan sepeserpun. Menjadi seorang mantan pemanggul tandu Sudirman menjadikan keluarga Djuwari beberapa kali didatangi cucu Sang Panglima Besar. Pernah suatu kali, ia diberi uang Rp. 500.000,00, namun setelah itu belum ada yang datang membantunya lagi. Pemerintahan yang cukup baik kepadanya adalah zaman mantan Presiden Soeharto, sesekali dia digelontor bantuan beras. “Dulu mangkulnya bergantian, kira – kira sekitar tujuh orang” tuturnya. Perjalanan mengantar perang gerilya Jendral Sudirman seingatnya dimulai pukul 8 pagi dan dikawal banyak pria berseragam. Rute perjalanan yang ditempuh teramat berat karena medan berbukit – bukit dan hutan yang teramat lebat dan gelap. Seringkali perjalanan dihentikan untuk sekedar duduk dan beristirahat. Kalau sempat dan ada bekal makanan, mereka akan makan. “Dari Bajulan (Nganjuk) lalu kami kembali ke Goliman. Waktu itu kita diberi jarit dan sarung,” imbuhnya. Djuwari menambahkan, waktu itu, istrinya (sudah wafat setahun yang lalu) amat senang menerima jarit pemberian Sang Jendral. Karena seringnya dipakai, jarit pemberian itupun menjadi rusak. Kini tinggal kisahnya ikut bergerilyalah yang bisa ia kenang. “Pak Dirman pesan kalau hidup itu harus yang rukun dengan semua orang” katanya.
Dari empat warga Dusun Goliman yang pernah mamanggul tandu Panglima Besar, hanya Djuwari seorang yang masih hidup. Sedangkan tandu yang dulu dipergunakan untuk memanggul Panglima Sudirman dalam Perang Gerilya mengusir penjajah, sekarang tersimpan rapi di Museum Satria Mandala.

Referensi:
Sastradududewo.blogspot.in
Diakses pada tanggal 11/11/2014 pukul 10.00 WITA




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline