Lihat ke Halaman Asli

Online Public Shaming, Aksi Perlawanan Netizen Terhadap Ketua DPR dan MKD

Diperbarui: 2 Januari 2016   19:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dylan Aprialdo Rachman

     Jangan berharap tulisan ini akan membongkar intrik permufakatan kejahatan yang dijalankan oleh Ketua DPR Setya Novanto bersama sejumlah pihak yang terlibat dalam rekaman yang disodorkan oleh Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Apa yang diungkapkan oleh penulis tidak akan membahas jauh ke sana, mengingat kasus ini masih dalam proses penyelidikan lebih lanjut oleh Kejaksaan dan Kepolisian.

Kapolri Jenderal Badrodin Haiti sebagaimana dikutip dalam Kompas.com, menuturkan bahwa rekaman yang diberikan oleh Menteri ESDM Sudirman Said menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Ketua DPR Setya Novanto sudah memenuhi unsur-unsur permufakatan jahat (Baca: Kata Kapolri, Kasus Setya Novanto Sudah Ada Unsur Permufakatan Jahat). Pihak Kejaksaan Agung melalui pernyataan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah juga mengakui bahwa permufakatan jahat Setya Novanto bisa dikategorikan sebagai potensi awal sebuah kejahatan (Baca: Kejaksaan Agung: Speak-Speak Mau Permufakatan Jahat, Kita Pites Saja). Penulis akan lebih memberikan perhatian bagaimana publik melakukan public shaming terhadap Setya Novanto melalui media sosial. Sebelum mengarah kesana, alangkah lebih baiknya penulis mengajak pembaca untuk memahami peran internet dalam era cyberdemocracy.

 Keberadaan internet khususnya media sosial seperti twitter, facebook, instagram dan Line tidak hanya sekedar menjadi alat komunikasi untuk berinteraksi antar pengguna tetapi juga sudah menjadi alat dalam mengemukakan pendapat, aspirasi, dan kritik terhadap sebuah isu atau peristiwa yang terjadi secara aktual. Belakangan ini budaya mengkritik via media sosial merupakan sebuah tren dan dianggap sebagai kegiatan yang wajar dalam era demokrasi di negeri ini. Cyberdemocracy merupakan istilah yang dapat dilekatkan terhadap peran internet khususnya media sosial dalam meningkatkan kebebasan berpendapat di era demokrasi. Banyak sekali berbagai macam kritik yang dilontarkan oleh netizen melalui jejaring sosialnya terhadap seseorang, isu atau sebuah peristiwa mulai dari sesuatu yang ringan dan sepele hingga sesuatu peristiwa yang dianggap berat dan menyita perhatian publik secara luas.

     Menurut Doshi (dalam The New Indian Express, 2015) media sosial telah menjadi alat kekuatan baru bagi masyarakat untuk memberikan kritik, menjalankan pengawasan terhadap berbagai macam aktivitas yang ada di dalam lembaga pemerintahan. Para netizen bisa menggunakan media sosial untuk mencari dan menggalangkan empati, simpati dan kekuatan dengan menyatukan netizen untuk bersikap satu suara dan bergerak bersama dalam merespon sebuah isu atau peristiwa. Cyberdemocracy melahirkan cyberprotest yang menjadi tren masyarakat dalam bersuara (Ibrahim, 2011). Media sosial bisa menjadi sebuah public trial (pengadilan publik) ketika seseorang atau kelompok dianggap melakukan penyimpangan dalam sebuah masyarakat mulai dari orang biasa hingga kepala negara bisa menjadi sasaran empuk pengadilan semu ini.

Aksi cyberprotest yang seringkali dilakukan oleh para netizen adalah public shaming. Menurut Jacquet (2015) aksi public shaming merupakan solusi efektif dalam melakukan sebuah perlawanan tanpa aksi kekerasan (non-violent resistance) serta sarana alternatif ketika kekuatan penegakkan hukum dinilai lemah oleh masyarakat. Di Indonesia sudah marak dilakukan dalam berbagai macam peristiwa. Jika melihat ke belakang, kasus Florence Sihombing yang dianggap menghina masyarakat Yogyakarta melalui status Path akibat kekesalannya karena tidak diberikan pelayanan yang baik di sebuah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum di Yogyakarta dengan cara menyerobot atau tidak mau mengikuti proses antrian yang ada merupakan salah satu bukti bagaimana para netizen melakukan public shaming terhadap Florence. Ia menulis dalam akun Path-nya “Jogja Miskin, Tolol, dan Tak Berbudaya. Teman-teman Jakarta-Bandung jangan mau tinggal di Jogja”. 

Kekesalan Florence yang dituangkan dalam statusnya sontak mengundang reaksi amarah masyarakat Yogyakarta hingga membuat salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat Jangan Khianati Suara Rakyat (Jati Sura) melaporkan dirinya ke Polda DIY. Florence terancam dengan kurungan maksimal 6 tahun penjara karena dianggap melanggar UU ITE No. 11 tahun 2008 dengan dugaan melakukan pencemaran nama baik dan provokasi mengampanyekan kebencian terhadap masyarakat Yogyakarta.

Sikap Florence sebagai mahasiswa hukum di sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka di Yogyakarta juga memaksa pihak fakultas untuk memberikan sanksi tegas terhadap dirinya. Kasus ini berhasil diselesaikan melalui jalur damai dan negosiasi antar pihak baik Florence, perwakilan masyarakat dan pihak kesultanan Yogyakarta. Kasus Florence menjadi bukti bahwa seseorang yang dianggap melakukan penyimpangan bisa menjadi sasaran keroyokan (the shamee) para netizen (the shamers) untuk dikritik, dicaci maki, dan dihina sampai-sampai membuat Florence sebagai seorang individu merasa malu dan kapok atas sikapnya tersebut.

Kita juga dikejutkan dengan ulah sejumlah remaja perempuan yang melakukan aksi yang dianggap tidak pantas oleh kalangan instagrammers dan netizen di media sosial lainnya. Beberapa remaja tersebut melakukan foto selfie di sebuah kebun bunga milik seorang warga yang berlokasi di Padukuhan Ngasemayu, Desa Beji, Kecamatan Patuk, Yogyakarta dengan menginjak, menduduki, dan merebahkkan diri di hamparan bunga-bunga indah yang tumbuh subur di kebun tersebut. Aksi tersebut mengundang reaksi kekesalan dari para netizen khususnya pengguna instagram setelah melihat foto selfie tersebut diunggah melalui akun pribadinya. Berbagai macam pengguna instagram menilai bahwa mereka tidak memiliki pertimbangan etis dan tidak bersikap bijak ketika melakukan selfie di kawasan alam. Kritik dan cacian pun mengalir deras baik dalam bentuk komentar hingga beredarnya beragam meme di Instagram dan juga twitter (karena foto selife tersebut juga beredar di kalangan pengguna twitter).

Jika melihat praktik public shaming dalam peristiwa politik, kita bisa berkaca pada peristiwa yang sempat heboh di Indonesia. Peristiwa ini bermula dari “kegaduhan” yang dipicu Menteri ESDM Sudirman Said yang melaporkan ulah salah satu figur politik yang berpengaruh yaitu Ketua DPR Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR karena diduga melakukan pelanggaran etik akibat mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam soal perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia. Sudirman menuding bahwa Setya bersama seorang pengusaha meminta saham sebesar 11 persen untuk Presiden Jokowi dan 9 persen untuk Wakil Presiden Jusuf Kalla demi memuluskan rencana perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Atas kelakuan Setya Novanto tersebut membuat Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla angkat bicara dan menyampaikan kekesalannya.

Jokowi merupakan sosok paling terang-terangan dalam mengutarakan kekesalannya akibat ulah yang dilakukan oleh Setya Novanto. Seperti dikutip oleh rekan kompasianer, Nandita Sulandari dalam artikelnya Membaca Pesan Poltiik Jokowi Terhadap Novanto disebutkan bahwa Jokowi marah besar. Jokowi sebenarnya dikenal sebagai sosok yang bersifat merangkul terhadap orang-orang disekitarnya dan juga masyarakat. Ia juga sebenarnya merupakan orang yang bersifat tenang dan kalem dalam menanggapi sesuatu, tapi peristiwa ini mampu mengubah sikapnya 180 derajat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline