Lihat ke Halaman Asli

Pesawat Kepresidenan 1 Triliun, Sebuah Kebutuhan atau Keinginan?

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Baru saja saya mendapatkan kabar bahwa pesawat kepresidenan tipe Boeing Business Jet 2 Green yang telah dipesan sekitar 4 tahun lalu dengan nilai kontrak pembelian sebesar 91,2 juta dollar AS atau sekitar Rp 912,09 miliar hampir mencapai 1 triliun, telah tiba di Bandara Halim Perdana Kusuma. Yang ada dalam pikiran saya apakah saya harus bangga atau menggerutu?.

Memang tidaklah etis jika warga negara harus menggerutu terus menerus dan menilai sesuatu dari satu sudut pandang saja terhadap suatu permasalahan, jadi mari kita lihat dari berbagai macam sudut pandang yang berbeda.

Indonesia Tidak Pernah Mandiri dalam Pengadaan Pesawat Kepresidenan

Dari zaman Soekarno, hingga kepemimpinan era presiden SBY, perjalanan dinas ke luar negeri selalu memakai pesawat carteran, Indonesia bisa dibilang memang belum mandiri dalam pengadaan pesawat kepresidenan. Pada era Soekarno dalam melakukan kunjungan ke luar negeri untuk memperkenalkan negara Indonesia, Soekarno menggunakan pesawat tipe Pan American model Boeing 707, di tengah ideologi self-determination Indonesia pada waktu itu, Soekarno tentunya memiliki secercah harapan Indonesia memiliki pesawat kepresidenan sendiri, namun apa daya, didalam kondisi tengah memperjuangkan kemerdekaan, dan berbagai macam konflik terjadi di berbagai daerah membuat Indonesia harus mengurungkan niatnya memiliki pesawat kepresidenan karena dana yang tidak mencukupi serta sangat dibutuhkan untuk dana kebutuhan memperjuangkan kemerdekaan.

Pada era Soeharto, perjalanan dinas/kunjungan luar negeri kepala negara masih menggunakan pesawat Hercules milik TNI Angkatan Udara, atau menyewa pesawat Garuda Indonesia, hal yang sama dialami oleh presiden Abdurrahman Wahid. Hingga kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tidak pernah ada kekhususan dalam pengadaan pesawat kepresidenan.

Jika seandainya pada zaman Soeharto, karya pesawat CN – 235 dan CN – 250 dari seorang anak bangsa B.J. Habibie yang terkenal dengan kejeniusannya dalam penemuan berbagai macam teori seperti Teori Retakkan Pesawat, Faktor Habibie diapresiasi dan didukung penuh terus menerus hingga sekarang untuk dikembangkan, Indonesia bisa memiliki pesawat kepresidenan hasil karya anak bangsa yang tidak kalah saing dengan pesawat buatan negara lain seperti Boeing dari Amerika Serikat. Mengapa di kepemimpinan SBY tidak memilih untuk menciptakan pesawat kepresidenan dengan mengembangkan generasi pesawat terbaru dari tipe-tipe sebelumnya seperti CN – 235, CN – 250, dan CN - 295 di industri pesawat dalam negeri yang dikelola oleh PT. Dirgantara Indonesia, padahal negara-negara tetangga ASEAN seperti Brunei Darussalam, Filiphina, Myanmar, Vietnam, Thailand dan Malaysia memesan pesawat tipe CN – 295 dengan penuh kebanggaan dan apresiasi untuk kebutuhan mereka.

Alangkah bangganya masyarakat Indonesia, jika industry pesawat dalam negeri mampu memproduksi pesawat kepresidenan Republik Indonesia dengan hasil jerih payah dari para anak bangsa. Pertanyaan yang harus dijawab oleh pihak pemerintah adalah mengapa tidak memanfaatkan industry pesawat dalam negeri untuk mengembangkan pesawat kepresidenan?, serta mengapa harus memesan tipe Boeing Business Jet 2 buatan Amerika Serikat, padahal masih ada tipe lain yang memiliki spesifikasi yang sama jika memang pembelian pesawat merupakan suatu kebutuhan mendesak? Apakah hal ini untuk mengejar prestise dimata dunia internasional terutama negara-negara yang tergabung dalam G-20?. Diperlukan transparansi dan pemaparan secara mendetail terhadap masyarakat dalam pembelian pesawat Boeing Business Jet 2 ini.

Teladan Penggunaan Pesawat Oleh PM Singapura

Mengingat lagi kembali pada sikap pragmatis seorang PM Singapura yang memimpin negara maju dengan pendapatan perkapita jauh lebih besar dibandingkan Indonesia, dimana PM Singapura Lee Hsien Loong pada tahun 2009 mengunjungi Jeju, Korea Selatan untuk mengikuti pertemuan antara pemimpin ASEAN dengan Korsel. Yoon Jeung menteri keuangan Korea Selatan tiba di bandara Gimpo pada 30 Mei 2009 untuk melakukan pertemuan yang sama bertanya-tanya ketika dia menjumpai PM Singapura tidak terbang dengan pesawat jet kepresidenan ke Korsel. Lee tiba di bandara dengan menggunakan pesawat sipil. Yoon menanyakan hal ini kepada Lee mengapa dia lebih memilih menggunakan pesawat terbang sipil dalam kunjungan pertemuan negara-negara ASEAN, seperti dikutip oleh media korsel The Chosun Ilbo “Mengapa sebagai pemimpin negara kaya kok tidak memakai pesawat pribadi atau menyewa pesawat jet?”, Yoon bertanya. Lee pun menjawab bahwa dirinya tidak berpikir Singapura sebagai negara yang makmur. Selain itu, dia mengakui meskipun sebagai pejabat pemerintah, harus tetap memberi contoh.

“Pejabat senior Singapura terbang dengan kelas ekonomi, bukan kelas satu untuk penerbangan dengan jarak tempuh enam jam.” Seorang perdana menteri Singapura, negara maju dengan pendapatan perkapita dua kali lipat dibandingkan Korsel saja mampu berpikiran seperti ini, mengapa Indonesia negara yang sudah tahu merupakan negara berkembang dengan pendapatan perkapita rendah tidak bisa berpikiran seperti ini?. Mengapa tidak berpergian menggunakan pesawat komersial saja, justru malah menyewa satu pesawat dan para pejabat senior serta staff ahli dibawa kedalam satu pesawat dengan standar kelas satu.

Jika memang ingin menghemat anggaran dana kenapa tidak bisa menghemat anggaran belanja DPR/MPR RI yang setiap tahunnya melonjak untuk belanja kebutuhan atau pengadaan barang yang tidak penting, dan untuk menghemat anggaran tidak usah menyewa satu pesawat yang jelas-jelas memakan banyak anggaran cukup ikut terbang bersama rakyat sipil dalam pesawat komersial, dan mengajak para pejabat serta staff untuk menggunakan kelas ekonomi.

Seperti kutipan dari artikel berdikarionline.com


“Kalau mau bicara penghematan, yang seharusnya dihemat adalah kunjungan Presiden SBY ke luar negeri. Memang, semenjak SBY menjadi Presiden, anggaran untuk kunjungan alias plesiran ke luar negeri memang membengkak. Dalam sejarah Republik Indonesia, SBY-lah Presiden yang paling sering melakukan plesiran ke luar negeri.”

“Dari Januari 2013 hingga Mei 2013 saja, SBY sudah melakukan 4 kali kunjungan ke luar negeri. Artinya, hampir setiap bulan SBY ke luar negeri. Dalam kurun waktu itu, ada 10 negara yang didatangi oleh SBY. Akan tetapi, seperti diungkapkan pengamat politik dari Universitas Indonesia, Boni Hargens, hampir semua kunjungan itu hanya ajang pencitraan.”

Simbol Kemewahan ditengah Kemelaratan Rakyat

SBY memang merupakan presiden yang sering sekali “blusukan” ke luar negeri, mengatasnamakan kunjungan dinas padahal kunjungan ke luar negeri hanya upaya pencitraan saja. Tidak bermaksud untuk menggerutu, mengapa SBY tidak melakukan hal seperti yang gubernur DKI Jakarta lakukan, melakukan blusukan didalam negerinya sendiri. Berbagai macam permasalahan di tanah air sangat banyak mulai dari korupsi, kemiskinan, kesenjangan sosial, konflik horizontal, pembangunan infrastruktur yang tidak merata, hingga seorang anak kecil berusia 12 tahun yang bekerja sebagai buruh tani demi menafkahi tiga adiknya. Sangat tidak etis presiden membeli pesawat ditengah kondisi masyarakat Indonesia yang seperti ini, di manakah letak simpati dan empati seorang pemimpin terhadap rakyatnya.

Mgr. Albertus Soegijapranata SJ pernah berkata seperti ini kepada para pemimpin:

“Jika rakyat kenyang, biarkan pemimpin yang terakhir merasa kenyang. Jika rakyat lapar, biarkan pertama yang pertama merasa lapar.”

Seolah-olah presiden berupaya untuk menutup mata dan telinga ketika para siswa harus bersekolah dibangunan yang rusak, tidak layak, rakyat miskin yang harus hidup di jalanan tinggal di kolong jembatan sebagai tempat berteduh, rakyat yang kesulitan mendapatkan akses layanan kesehatan, dan permasalahan lainnya.

Tim Advokasi Koalisi APBN untuk Kesejahteraan Rakyat, menyatakan bahwa biaya pembelian pesawat SBY sebesar 91,2 juta dollar AS setara dengan pengadaan rumah sederhana sebanyak 9.121 unit dengan harga Rp 100 juta per unit; anggaran itu juga setara dengan pengadaan sekolah rusak sebanyak 4.560 gedung sekolah dengan biaya perbaikan Rp 200 juta per sekolah; anggaran itu juga setara dengan Jamkesmas untuk 11 juta penduduk miskin dengan biaya jamkesmas Rp 80.000 per tahun atau biaya raskin 1 juta penduduk miskin dengan alokasi Rp 894.000 subsidi raskin per orang per tahun.

Entah mengutamakan rasa malu pergi ke luar negeri dengan menggunakan pesawat charteran dan gengsi menggunakan pesawat sipil dengan alasan efisiensi, ketimbang mengutamakan rasa simpati dan empati terhadap kemelaratan hidup rakyatnya, pembelian pesawat ini sudah terlanjur, apa daya kita sebagai rakyat tidak bisa berbuat apa-apa sembari menatap miris, kesal, marah melalui berbagai macam berita di media massa baik cetak, tv maupun portal media online.

Sudah saatnya menjelang pilpres tahun ini masyarakat harus bergabung menyatukan suara dalam memilih pemimpin yang mau membuka telinga, dan mata terhadap persoalan masyarakatnya, pemimpin yang mau rela terjun langsung tanpa rasa enggan melihat kondisi rakyatnya, pemimpin yang tidak gengsi menggunakan pesawat komersial ketika melakukan kunjungan luar negeri, sertaa pemimpin yang mau memberdayakan potensi-potensi anak bangsa untuk mengembangkan pembangunan di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline