Mengapa masih saja rasa egosentris mu lebih tinggi dari logika akal mu? Hingga cacat akal pikirmu dalam menafsirkan perbedaan.
Harus berapa lama masyarakat disekolahkan dan terus menerus disuapi nilai-nilai keberagaman? Dari sejak duduk di bangku sekolah dasar bukankah guru mu memberi pelajaran bahwa Negeri yang kau tinggali ini bukanlah negeri barang seorang? Sejak usia 7 tahun kita melakukan upacara dan memberi penghormatan kepada bendera Indonesia yang jika diartikan secara holistik berarti menghormati keberagaman Indonesia. Di atas semua ini kenapa kamu masih saja berperilaku keras terhadap mereka yang tidak sama? Mengapa masih saja rasa egosentris mu lebih tinggi dari logika akal mu? Hingga cacat akal pikirmu dalam menafsirkan perbedaan.
Kumohon, kesampingkanlah dulu ego mu dalam mepelajari agama. Karena, sudah terlalu banyak intoleransi yang lahir berkat rasa egoisme menutupi rasionlitasmu. Kalau kau ingin bukti, mari kita periksa data berapa banyak jumlah pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia sepanjang tahun 2018. Berdasarkan penelitian Setara Institute yang dilakukan di 34 provinsi di Indonesia bahwasannya terdapat 202 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan keyakinan (KBB). Apakah ini jumlah yang banyak? Tidak, jumlah ini masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Myanmar atas permasalahan Rohingya yang sampai mengundang intervensi dunia internasional dalam menuntut tindakan segera.
Tapi jumlah bukanlah yang utama, sebab akan lebih manusiawi jika pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) ini untuk tidak dibandingkan dengan negara yang memiliki angka yang lebih tinggi. Karena bagaimanapun, tindakan intoleransi ini adalah suatu hal yang keliru dan harus diselesaikan. Oleh karena itu, berapapun jumlahnya walaupun hanya berada pada interval 1 sampai 10, sebagai seorang jurnalis seharusnya kita tetap menaruh perhatian yang besar padanya agar masuk pada agenda public dan segera diselesaikan.
Keluhku sebenarnya, aku sudah lunglai untuk terus melihat masyarakat dan media serta jurnalis-jurnalisnya yang memarjinalkan kaum marjinal. Tapi pikiranku yang paling dalam dan penuh kesadaran berkata bahwa aku tidak mau lagi melihat, mendengar, dan merasakan hal-hal yang berbau intoleransi.
Karena aku menghargai pendahuluku. Biar ku beritahu, menurutmu untuk apa para founding fathers kita dahulu menciptakan "Bhineka Tunggal Ika" dengan penuh konflik pikiran dan perdebatan? Ini semua dilakukannya untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah karena permasalahan SARA (Suku Agama Ras dan Antar golongan).
Coba kamu bayangkan betapa sedihnya mereka melihat para penerus bangsanya masih saja bergelut tentang mana yang benar dan yang salah? Apakah itu agamaku atau agamamu? Melihat kamu penerus bangsa masih saja hidup dengan egosentrismu terhadap agama, sampai merelakan bangsanya terpecah belah untuk hidupnya agamu seorang?
Kemanakan perginya kedua mata mu? Bukankah Tuhan berikan kedua mata agar kita bisa melihat keseluruhan alam semesta? Jangan menggunakan kacamata kuda dalam melihat kebenaran. Karena dunia ini terlalu luas untuk kamu pahami hanya dengan kacamata kuda. Kemanakah perginya otakmu?
Bukankah Tuhan berikan otak sebagai perangkat untuk memahami kebenaran secara komprehensif? Jangan sia-siakan otakmu dengan berpikiran sempit karena potensinya sangatlah besar hingga bisa menghidupi dunia dengan teknologi canggih.
Jangan nodai kitab suci yang datang dari Tuhan dengan pikiran sempitmu, karena isinya tidak bisa kamu pahami dengan hanya menerima sebagian kebenaran. Jangan juga kamu lupakan prinsip cover both side dalam menyampaikan kebeneran kepada masyarakat dalam tugas mu sebagai seorang jurnalis (penyambung lidah rakyat).