Lihat ke Halaman Asli

Kecupan yang Tak Semestinya (Sebuah Kisah Fiktif)

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dan ketika ciuman itu mendarat di keningnya, tak sedikitpun kata yang terucap dari bibirnya. Entah dia pasrah, atau malah dia juga menikmati kecupan yang baru pertama kali mendarat di keningnya itu.
Semilir angin yang tertiup dari sebelah barat saung hingga akhirnya menghembus melalui dua tubuh yang sunyi, tak terucap satu kata pun ketika Lanang mendaratkan kecupannya di kening Arina, sore itu. Jutaan rasa berkecamuk di dalam pikiran mereka, membuat jantung mereka masing-masing semakin cepat memompakan aliran darah ke bagian atas.
Bagaikan tersengat aliran listrik yang lembut. Rasa yang berkecamuk itu benar-benar tak terduga sebelumnya oleh Arina. Bukan karena dia tak menyangka kekasihnya bisa berbuat demikian, mengecup keningnya sebelum dirinya halal bagi Lanang. "Entah setan apa yang sudah membujukku membiarkan bibir Lanang mendarat di keningku, untuk pertama kali." Pikir Arina.
Hanya ketidaktahuan. Kepolosan, mungkin tak begitu berpengaruh, karena Lanang dan Arina sudah menjadi manusia dewasa, yang pasti bisa membedakan mana hal yang tak boleh dan mana yang diperbolehkan. Mungkin iblis-iblis dari neraka telah berhasil menyamar menjadi malaikat cinta di sekeliling mereka, sehingga batas-batas yang telah dimengerti sejenak terlupakan, Lanang dan Arina semakin terlarut dalam keheningan.
Lanang menatap Arina, mereka masih terdiam, walau segala pikiran berkecamuk, dan semakin ramai. Namun mereka tetap terdiam setelah kecupan di kening Arina oleh lanang. Hanya tatapan sayu, namun tajam yang diarahkan oleh lanang kepada Arina.
Dua jam yang lalu mereka pergi dari masjid di belakang pesantren, untuk sejenak pergi ke toko buku mencari bahan-bahan Skripsi Arina. Dan entah apa yang dibisikkan oleh malaikat cinta gadungan itu, sehingga di tengah perjalanan pulang, Lanang dan Arina terhenti di saung sebuah taman kota yang tak jauh dari lingkungan pesantren.
"Ah....bodohnya aku ini. Sudah sekian tahun aku berada di lingkungan pesantren. Sudah banyak ayat-ayat yang kubaca, hadist yang kupelajari, dan kitab-kitab yang selama ini menjadi bahan pendidikan pesantren, tapi masih belum saja membuatku bisa bertahan akan suasana ini. Paling tidak menahan hawa cinta yang harusnya tak kuungkapkan selebih ini. Aku memang mencintai Arina. Namun, aku masih belum berhak menyentuh gadis yang belum menjadi murhimku ini." Pikir lanang.
Pikiran demi pikiran bergelantung di benak Arina dan Lanang. Suara adzan Maghrib membangunkan pikiran-pikiran itu. Tak ada sentuhan lagi setelah kecupan. Hanya perjalanan sunyi yang ada, sepanjang jalan antara taman hingga pesantren. Entah apa yang akan terjadi setelah itu, mereka tak tahu. Yang jelas, mereka sama sama mengerti. Ketika cinta seharusnya memiliki batasan yang harus ditahan dalam waktu sesaat, mereka masih belum bisa menahan batasan-batasan itu, hingga akhirnya nanti bisa diungkapkan pada saat yang indah.

CLL

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline