Lihat ke Halaman Asli

Putus atau Diputusin

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelabu sekali tahun baru ini, awal tahun langsung putus cinta. Hmm mungkin putus cinta bagi smua orang itu adalah hal yang sangat berat dan menyakitkan. Begitu juga buat saya. Bahkan saya acapkali harus melalui fase-fase kelam dan berduka, yang berupa mengunci diri di kamar, menangis berhari-hari, tidak makan, tidak minum (bohong kalo ini hehe mana bisa orang hidup tidak minum), menghabiskan berkotak-kotak tisu, mata membengkak, jerawat bermunculan, tidak mandi (saya bukan jorok, karena setelah fase ini lewat saya akan mandi dengan sabun antiseptik dan luluran habis-habisan), menutup diri dari dunia luar, dan fase selanjutnya adalah makan coklat dan es krim banyak-banyak serta menguras tabungan dengan berbelanja apapun yang saya mau .

Oke, itu fase saya. Tapi saya bukan ingin membahas tentang fase-fase orang dalam mengatasi putus cinta. Tapi ingin membahas tentang putus cinta dari segi prosesnya. Apakah diputusin ataukah justru kita yang mutusin seseorang.

Pertanyaannya pentingkah siapa pengambil keputusan tersebut dan apa sih pengaruhnya terhadap kehidupan kita selanjutnya?

Buat (hampir) semua orang yang saya kenal dan tentu saja saya tadinya, berpikir bahwa gengsi banget kalau sampe diputusin, tapi suatu ketika saya terlibat pembicaraan dengan seorang teman yang berpendapat bahwa diputusin itu lebih enak karena kita tidak punya beban moral. Uh? Aneh buat saya, sampe saya akhirnya merasakan sendiri. Ternyata memutuskan orang itu justru sangat berat dan meninggalkan luka sangat mendalam serta memiliki efek yang lebih traumatis pada diri saya. Saya pun membutuhkan waktu yang lebih lama menyembuhkan luka-luka itu, karena cinta itu masih bercokol kuat di diri saya dan dorongan untuk kembali kepada orang tersebut sangat besar. Mengapa? Karena logikanya kalau kita yang memutuskan ikatan suatu hubungan, kita merasa kita adalah pengambil keputusan, jadi ada suatu ruang besar untuk kita bisa memutuskan suatu hubungan untuk tersambung lagi. Sedangkan jika kita diputuskan oleh seseorang, maka hati kita akan tersakiti sehingga mudah bagi kita untuk keluar dari kubangan masalah karena sakit hati kita akan lebih besar.

hmmm...selanjutnya? Itu mungkin tergantung maisng-masing pribadi...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline