Keterangan Gambar:
- Aksi Protes warga Desa Sekumbang, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, membakar tanaman Akasia di lahan hutan tanaman industri milik PT Wirakarya Sakti (Rabu, 14/7/2010, liputan6.com)
Kebutuhan akan target penerimaan negara membuat pemerintah memberikan kemudahan, khususnya untuk perusahaan-perusahaan besar ijin pemanfaatan kawasan hutan (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam/IUPHHK HTI-HA). Padahal ketika sebuah hutan majemuk dikonversi menjadi perkebunan yang homogen dalam hamparan ribuan hektar, jelas akan merusak keberagaman ekosistem, karena keterbatasan jenis tumbuhan sebagai produsen dalam rantai makanan bagi mahluk hidup yang tinggal di dalamnnya.
Terkait dengan heboh masalah perkebunan sawit yang dilarang di dalam kawasan hutan, ketentuan tersebut sebenarnya sudah lama ditetapkan, yakni sejak dikeluarkannya Inpres Nomor 10 Tahun 2011 yang melarang kawasan hutan dan lahan gambut dijadikan perkebunan sawit. Salah satu alasan yang mendasarinya menurut Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan saat itu, karena adanya gesekan terhadap satwa yang berada di habitatnya, sehingga satwa yang dilindungi seperti Harimau dan Orang Utan menjadi terganggu dan terancam kelangsungan hidupnya (Disbun Propinsi Kaltim, 23 Feb 2012).
Sebenarnya, kalau kita kaji lebih mendalam, bukan hanya sawit yang merusak habitat satwa atau ekosistem, seluruh komoditi perkebunan dengan hamparan ribuan hektar jelas merusak habitat satwa dan ekosistem. Namun karena persebaran perkebunan Sawit (khususnya Sawit masyarakat/ilegal) kadang sampai mendekati, bahkan masuk kawasan Hutan Lindung atau suaka margasatwa, sehingga terjadilah gesekan atau konflik dengan satwa- satwa yang dilindungi di dalamnya.
Ekosistem dalam Perkebunan Sawit Lebih Beragam Dibandingkan Akasia
Kalau kita bandingkan antara perkebunan Sawit, Akasia dan Karet, justru perkebunan Akasia yang paling miskin keberagaman ekosistem di dalamnya. Hal tersebut bisa dilihat dari hama yang menyerang tanaman Akasia adalah dari jenis serangga. Mulai dari serangga penggerek akar, pemakan daun, pencucuk-penghisap, penggerek ranting dan penggerek batang (Nair dan Sumardi, 2000). Artinya, Akasia hanya menjadi produsen untuk organisme jenis serangga. Sementara untuk tanaman sawit jenis hamanya lebih banyak dan beragam. Selain serangga, hama sawit lainnya adalah cacing-cacingan (nematoda), tikus, tupai, monyet hingga babi hutan yang memakan embut, brondolan dan tandan sawit yang masih muda. Keberadaan hama-hama tersebut yang memancing satwa-satwa yang menjadi predatornya datang dan bersarang di sekitar perkebunan sawit, seperti ular mulai dari yang berukuran kecil, sedang hingga jenis ular phyton, biawak, burung pemakan daging dan binatang carnivore lainnya. Rantai makanan yang dibentuk semakin luas dan panjang sehingga ekosistem di dalam perkebunan Sawit lebih banyak dan beragam.
Fungsi Konservasi Perkebunan Sawit Lebih Baik Dibandingkan Akasia
Jika dilihat dari pengertian hutan konservasi berdasarkan UU No 41 Tahun 1999 pasal 1 ayat 9, yakni "Hutan Konservasi adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya," maka dari pengertian tersebut, jelas fungsi pokok konservasi adalah demi pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistem, sehingga perkebunan Sawit dengan ekosistem yang lebih beragam tentunya lebih bernilai konservasi dibandingkan dengan perkebunan Akasia.
Jadi, seharusnya pihak kementerian LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan) tidak tebang pilih dalam menentukan komoditi yang boleh atau yang tidak boleh ditanam di dalam kawasan hutan. Kalau Sawit dilarang ditanam di dalam kawasan hutan, maka begitu juga seharusnya dengan Akasia, karena kerusakan ekosistem yang ditimbulkannya lebih parah daripada perkebunan Sawit.
Pentingnya Pembatasan IUPHHK HA-HTI Demi Pelestarian Ekosistem Hutan dan Rasa Keadilan Masyarakat
Sebaiknya ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK HA-HTI) tidak diberikan terhadap satu komoditi dalam hamparan ribuan hektar, karena jelas sangat merusak ekosistem hutan. Tetapi seharusnya satu komoditi dibatasi dalam kisaran ratusan hektar atau dibawah itu, apalagi untuk komoditas perkebunan yang miskin ekosistem di dalamnya. Selain itu, harus ada pembatasan luasan IUPHHK HA-HTI terhadap satu perusahaan dan memberikan kemudahan pengurusan IUPHHK bagi masyarakat, kususnya mereka yang belum mempunyai lahan perkebunan. Hal ini dimasksudkan untuk memenuhi rasa keadilan sebagaimana amanah pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yakni: "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalammnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Bukan untuk memperkaya segelintir manusia.
Sekian dan terima kasih. Salam Seimbang Universal Indonesia Nusantara ....