Masih ingatkah kita, manakala kali pertama bersua?
Lalu, berupaya saling menyelami tentang siapakah diri kita
Agar tak sekedar jatuh hati hanya karena
Terbuai oleh kulit luar dalam selayang pandang di mata belaka
Tidak dari kedalaman kalbu yang biru menyeluruh utuh
Ikrar kata pun terucap mengikat bulat
Membina biduk kasih arungi samudra hidup dengan cinta
Melambungkan kerinduan untuk hidup saling asah, asih dan asuh
Mematri sendi nan hakiki betapa kesetiaan itu mahal
Pertaruhkan segalanya, harta, jiwa dan raga
Demi cita mahligai hidup berkehidupan bersama
Dalam kesatuan yang tak terpisah oleh apapun jua
Terkecuali bila karena kehendak-Nya semata
Yang tak seorangpun kuasa menolaknya
Masih ingatkah kita pada peristiwa yang telah menjadi kisah?
Kini kisah itu terkoyak oleh alun cerita menggulung ikrar dan cita kita
Sebab, letupan khianat mencuat, melukai sepakat bermula darimu
Berdiri di atas dua kaki dalam sembunyi memeluk sunyi
Di balik romantika sepanjang perjalanan kita
Yang tak disangka bertabur kepalsuan, semu memudarkan biru
Begitukah akhir jalannya kisah kita?
Kepada siapakah aku harus mengadu?
Di kala cinta kasih antara kita 'tlah reyot renta nan kelabu
Kali ini hingga nanti, dan kuyakni
Lidah tak bertulang, nyata, memang ...
Kesetiaan yang semula adalah mahal, mahal dan teramat mahal
Kini jadi murah dan terobral hanya karena
Ketika lelaki memandang sawang kepada wanita selain yang dipunya
Laksana sebuah koma yang takkan berjumpa pada sebuah titik
Sebab, nafsu jualah yang membisik merayu nan mendayu-dayu
Begitu pulakah sikapmu kepada negeri ini, selama ini?
Harta, tahta, mahkota, wanita ... itulah dan itulah!
Selalu bergayut di benak kepala, dan jadilah
Pandangan dan sikap pun mendua terbaca
Dan, kini aku pun tinggallah berserah pasrah dalam tengadah ...
*****
Kota Malang, Agustus di hari ke delapan belas, Dua Ribu Dua PuluhTiga.