"Kemerdekaan, adalah laksana pelita yang menyinari dunia dari kegelapan", begitulah kata sang pejuang-pengembara universalis pada suatu ketika. Setelah melewati masa silamnya, selepas dari lorong pahit getir lantaran keterlibatan dirinya dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan suatu bangsa yang bukan bagian dari kebangsaannya. Apalagi, dirinya adalah seorang perempuan yang acapkali dilabeli sebagai kaum lemah.
Perempuan itu bernama Muriel Stuart Walker, lahir di Glasgow, Britania Raya dan bersama ibunya ke California usai Perang Dunia pertama. Dia yang bekerja sebagai penulis naskah di Hollywood antara 1930 dan 1932, menikah dengan seorang Amerika bernama Karl Jeaning Pearson yang wafat pada 1957. Pada 1932, ia tinggalkan Amerika Serikat yang berjuluk "Negeri Paman Sam" guna memulai hidup baru di sebuah pulau di Indonesia bernama pulau Bali-pulau Dewata yang dijalaninya lima belas tahun berikutnya.
Berawal dari saat dilanda gundah dengan dirinya sendiri, lalu berjalanlah dia menyusuri Hollywood Boulevard. Begitu persis di depan bioskop, sang perempuan ini berkeputusan untuk membeli tiket dan menyaksikan sebuah tayangan film berjudul, "Bali: The Last Paradise".
Usai menyaksikan tayangan film tersebut, sekeluarnya dari bioskop, dirinya seperti menemukan hidup. Hanya selang beberapa menit film itu kelar disaksikan, diapun berkeputusan bulat: pergi dan menetap di Bali!
Dengan mengendarai mobil yang dibelinya di Batavia, dia tiba di Sorga Terakhir yang diidamkannya. Bersumpahlah dia, bahwa baru akan turun dari mobil apabila mobilnya kehabisan bensin. Tak ayal, mobilnya berhenti di depan sebuah istana raja yang dikira sebuah pura.
Dengan penuh kehati-hatian, sang perempuan itu memasuki istana raja. Dia akhirnya disambut oleh sang raja, laksana dalam sebuah dongeng, dan diangkat menjadi anaknya yang keempat, lalu diberilah nama: K'tut Tantri.
"Surabaya Sue", begitulah pers di Singapura, Australia dan belahan bumi lain mengenalnya. Tersampir julukan itu di pundaknya akibat pilihan sadarnya untuk memilih berjuang membantu rakyat Indonesia yang menginginkan kemerdekaan total.
Di Surabaya, dia dikenal sebagai penyiar radio yang dioperasikan para pejuang arek-arek Suroboyo pimpinan Bung Tomo. Saat di Surabaya pecah pertempuran November yang gila-gilaan dan tak seimbang itu, dia berada di tengah para pejuang Indonesia yang sedang kerasukan semangat kemerdekaan.
Perkenalannya dengan dunia politik dimulai dari diskusi-diskusi yang intens dengan Anak Agung Nura, putra raja yang mengangkatnya sebagai anak, yang pernah mengenyam pendidikan di Leiden dan Universitas Heidelberg, Jerman.
Di saat Jepang mendarat di Bali, dia berhasil meloloskan diri ke Surabaya. Dari sinilah, dia mulai menjalin kontak dengan sejumlah orang yang bersimpati pada gerakan anti Jepang. Ketika pada akhirnya ia tertangkap, diinterogasi selama berbula-bulan harus dihadapi. Ditanya soal aktivitas bawah tanahnya dan bertubi-tubi disiksa, bahkan nyaris dieksekusi, hingga suattu ketika sempat terkapar dan nyaris mati. Namun, dia tetap bungkam. Karena kesehatannya yang anjlok pada titik ternadir, dia pun dikirim ke rumah sakit. Di sanalah dia mendengar kabar diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia.