Lihat ke Halaman Asli

Nista Damai

Diperbarui: 6 Juli 2023   14:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Input sumber gambar: cahayapengharapan.org

Entah mengapa, akhir-akhir ini alam pikiranku jadi terusik. Dan, aku kian terobsesi untuk mendalami tentang fenomena yang sedang hangat diperbincangkan lantaran viral dikonsumsi dan disaksikan oleh hampir semua kalangan. Lebih-lebih dari kalangan agamis yang bersandar pada satu agama mayoritas, bukan semuanya, yang telah dilegitimasi oleh negara.

Sesat, penistaan, penyimpangan, penodaan, bubarkan wadah lembaganya, tangkap dan penjarakan sang tokoh, serangkaian kata yang menghiasi setiap kali perbincangan itu ditayang di ruang publik, di media massa dan di media sosial apapun.

Keberadaan lembaga pendidikan berbasis agama yang begitu megah mempesona dengan tokoh sentralnya itulah yang dianggap kontroversi. 

Kontroversi? Ya, kontroversi kata mereka pada umumnya. Koq, bisa? Bisa saja. Sebab, ada yang tak lazim dari apa yang sudah menjadi kebiasaan yang telah mapan. Lho? Apakah lantaran lazim dan tak lazim, mapan dan tak mapan, sampai harus dituding menyimpang, sesat, dan lakukan penistaan dan penodaan terhadap agamanya sendiri? Selalu dalam tanya yang kucoba mencari jawabnya searif dan sebijaksana, damai tanpa gejolak yang berarti ...

"Tidak benar selain yang sudah dikaji dan telah dijalani." Boleh jadi, doktrin ini yang melekat pada diri mereka yang merasa benar, atau terlalu yakin. Bukan lantaran beningnya jiwa untuk sama-sama menggapai yang objektif ilmiah, fakta realita beriringkan data dan pembuktian yang tak terbantahkan. Sekali lagi, bukan hanya sekedar argumentasi asumsi bersimbahkan kepiawaian beretorika belaka. Bukan itu.

Kata "nista", menurut kamus adalah hina, rendah, tak enak didengar, aib, cela, noda. Itu kata kamus. Sehingga, "penistaan" adalah hal ihwal tentang hina, rendah, tak enak didengar, aib, cela, noda. Nah, apakah memang ada penanda dan gejala yang menjurus kepada semua itu, khususnya terhadap agama yang nyata mayoritas itu? Dimanakah sisi penistaannya?

Di kala agama sebagai sesuatu yang sulit didefinisikan, mengapa satu menyalahkan yang lain hanya karena beda cara pandang dan cara melaksanakan? Mengapa? Tanyaku menggelinding tak henti-henti ...

Sampailah aku pada pemahaman tentang pasal 156a KUHP, yang disebut-sebut sebagai klausul pijakan dalam menjerat seseorang tertuding dan tertuduh sebagai penista dan penoda agama.

"Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia."

Sampai di sini, memang tampak jelas tentang perbuatan yang pada prinsipnya beraroma permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap agama yang dianut di negeri ini. Dan, ancaman hukumannya paling lama 5 tahun penjara, bila terbukti dan bisa dibuktikan dalam persidangan di meja hijau sesuai dengan hukum positif di negeri ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline