Lihat ke Halaman Asli

Polemik

Diperbarui: 23 Juni 2023   12:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Debat terbuka, nampaknya telah menjadi hal yang biasa, bahkan telah membudaya, begitu pikir si Jhon pada suatu ketika. Hanya untuk apa, dan demi apa? Lanjut pikiran si Jhon dalam gayutan tanya pada dirinya sendiri.

Apakah hanya untuk dan demi gagah-gagahan, agar memperoleh pengakuan bahwa diri seseorang itu adalah hebat, luar biasa yang bersuperioritas di antara selain dirinya? Begitukah yang ada dalam benak sebagian massal manusia saat ini, berseliweran di ruang publik, di media apa saja yang serba digital kekinian ini? Tiada putusnya si Jhon semburatkan tanya dalam renung pikirnya guna mencari dan memperoleh jawabnya. 

Terngianglah oleh si Jhon, mengenang dengan menengok masa lalunya, saat menjadi mahasiswa, saat kali pertama menerima ujaran sang Dosen mata kuliah Dasar-Dasar Filsafat. Bahwa filsafat itu adalah induk dari semua ilmu yang ada di dunia. Filsafat itu mengajarkan kepada manusia untuk berpikir, berucap dan bertindak dalam mencintai kebijaksanaan, tidak berat sebelah, objektif ilmiah selaras dengan nalar akal sehat manusia pada umumnya. Tabu dengan hal-hal yang irasional, tak masuk akal, apalagi serba mistis. Itulah yang bernama filsafat. Yang dalam bahasa universal adalah sebagai pandangan dan sikap hidup menurut pijakan yang diyakini sebagai kebenaran dalam   mengarungi jalannya kehidupan.

Sementara, di ranah filsafat itu sendiri, terjadi beraneka aliran dengan dasar pijakan masing-masing aliran yang diklaim sebagai kebenaran yang diyakini setelah melalui proses kontemplasi. Si Jhon pun kian bingung, karena kebenaran koq menjadi banyak menurut faham aliran masing-masing. Mulai dari aliran idealisme hingga realisme, dan naturalisme dengan pelbagai cabang varian yang terlingkup di dalamnya, kesemuanya menyatakan, inilah yang benar!

Lebih dahsyat lagi dalam kebingungan si Jhon manakala mencoba mendalami apa itu filsafat yang konon katanya adalah induknya ilmu, adalah bahwa masing-masing penganut faham aliran filsafat manakala dipertemukan pemikirannya, selalu melahirkan dan memunculkan sebuah polemik, perdebatan yang tiada habisnya. Dan, demikian itulah yang bernama kebijaksanaan yang karena cinta akan kebijaksanaan. 

Apakah si Jhon mememperoleh pencerahan yang terang benderang dalam menatap arti kehidupan nyata dengan bertitik tolak pada filsafat yang tersebut sebagai induknya ilmu dan cinta akan kebijaksanaan? Ternyata, tidak juga. Justru kebingunganlah yang diperolehnya ...

Betapa tidak? Pikir si Jhon. Kalaulah dengan berfilsafat dalam rangka mencapai sebuah kebenaran yang benar-benar dan benar, mengapa justru bermuara pada polemik, silang pendapat dan perdebatan? Lantas, kapan berujung dan dan berakhir pada kebijaksanaan, kebenaran, dan keharmonisan di antara sesama manusia?

"Saya tahu, semakin saya tahu, saya tahu bahwa saya semakin tidak tahu," begitu dalam bahasa filsafat idealisme. Lho, maksudnya apa ini? Kembali si Jhon dihantam oleh narasi yang amat retoris. Bila saja si Jhon tak berbekal logika berbahasa, kata dan makna sebuah bahasa, bukan tak mungkin si Jhon akan mengalami kebuntuan dalam berpikir yang berakibat pula menjadi stress bin linglung lantaran tak kuasa memenej sinyal-sinyal yang membingungkan dalam mengarungi dunia filsafat.

"Bisa dipahami ungkapan dalam filsafat idealisme dimaksud, saudara?" tanya sang Dosen Filsafat kepada para mahasiswa yang tengah menerima materi kuliah Dasar-Dasar Filsafat dalam suatu ruang kelas.

"Bisa, pak!" jawab si Jhon tanpa ragu-ragu sembari mengangkat tangan kanannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline