Menulislah bila memang itu perlu. Apalagi di kala ruang bicara sudah tak lagi leluasa, sempit nalar sehat, sarat mitos yang lebih dipandang akurat menuju sekarat.
Bertumpang tindih antara kebenaran dan kebatilan, membaur bergumul hingga mewujud sebagai sandaran tolok ukur dan acuan. Terbuailah kita anak manusia, lepas kendali menjadi liar, tak lagi patuh pada apa yang dimaui Tuhan.
Silang sengkarut, carut marut, dan semrawut. Atas diri sendiri, batih, bangsa, pada dunia alam semesta pula. Tuhanpun diperalat, dipaksa tunduk pada nafsu maunya. Bagai kacang lupa akan kulitnya, siapakah sesungguhnya manusia, dan untuk apa manusia itu dicipta.
Bukankah, tidaklah diciptakan manusia dengan segala karunia yang dilimpahkan-Nya, kecuali hanya sebagai abdi kehidupan yang telah ditetapkan oleh Tuhan Semesta Alam, dalam hukum alam, hukum Tuhan yang bernama sunnatullah ..?
Kutuliskan sajak ini bagi mereka yang masih mau peduli dan berkomitmen janji kepada Sang Ilahi. Dan, biarkanlah mereka yang masih terbuai dalam ayunan, bujuk rayuan membius berhembus atas bisikan setan-iblis, membusungkan dada sebagai sang penguasa, menggerus kuasa Sang Ilahi.
Aku sendiri ...
Tak peduli pada caci benci ataupun dipuji. Sebab, aku tak butuh semua itu. Lalu, apa sesusungguhnya yang diharap? Hanyalah upaya dengan segala apa yang kupunya sebagai karunia Tuhan. Berseru dan mengingatkan bahwa kita dicipta hanya sebagai hamba, bukan untuk menjadi penguasa di atas sesama ...
*****
Kota Malang, April di hari kesembilan belas, Dua Ribu Dua Puluh Tiga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H