"Konflik Wadas"
Keyword :
"Sepanjang sejarah budaya dan peradaban manusia, problematika tanah (Problem Agraria) dengan segala varian kasusnya, yang paling krusial dan berujung pada konflik berdarah-darah, adalah tentang tanah, tanah dan tanah. Dan, yang lainnya adalah di bawahnya, juga menjadi terimbas oleh karena dampak yang ditimbulkannya ..." (Analisis)
Tanah, adalah sebagai sesuatu yang vital peranannya bagi semua kehidupan di bumi. Baik dari sudut pandang Pasti Alam, maupun Sosial Budaya. Dalam sudut pandang yang kedua inilah, drama konflik kepentingan antar sesama manusia, yakni antar individu, di dalam ikatan keluarga, individu dengan kelompok dan antar kelompok, antara masyarakat dengan negara, acapkali menyeruak di panggung budaya dan peradaban sepanjang sejarah keberadaan manusia di bumi. Mengapa?
Sejak zaman kolonial, problem Agraria yang diikuti dengan perebutan lahan, memang selalu berkelindan dengan realitas sosial budaya masyarakat. Agraria adalah soal hidup dan penghidupan manusia, sebab dari situlah makanan berasal. Perebutan tanah berarti perebutan makanan serta tiang hidup manusia. Tak perlu heran, bila banyak yang rela berjibaku mempertahankan tanah dan terlibat konflik, kendati harus kehilangan banyak hal.
Catatan sejarah menunjukkan, jauh sebelum kemerdekaan RI, aturan hukum yang berlaku saat itu, Undang-Undang Agraria 1870 (Agrarische Wet) sudah meletakkan dasar hukum bagi kolonialis Belanda. Tujuan pemberlakuan aturan itu untuk memfasilitasi akumulasi modal perusahaan Eropa yang berinvestasi di Hindia Belanda, lewat perkebunan Kapitalis yang memproduksi komoditas ekspor.
Formasi sosial Hindia Belanda dari 1870 hingga 1942 yang bercorak lahan produksi ekspor, seperti kopi dan gula, memang sengaja didisain untuk meningkatkan surplus penerimaan Hindia Belanda ke Negeri Belanda. Alih-alih mewujudkan, sistem perkebunan ditandai dengan paksaan ekstra ekonomi dalam rangka penyediaan tanah dan tenaga buruh murah. Undang-Undang ini juga memfasilitasi pemberian hak konsesi perkebunan pada perusahaan asing. Undang-Undang buatan kolonialis tersebut, menjadi Karpet Merah bagi para korporasi yang hendak berinvestasi.
Pasca Belanda sudah tak berdaya sebagai kolonialis di Bumi Indonesia_Nusantara akibat terseret dalam kancah Perang Dunia 2 (1939 - 1945) dan bergabung dengan Sekutu, penguasa kolonialis di Nusantara disambung oleh Jepang pada 1942, maka cita-cita reforma Agraria menjadi kian jauh panggang dari api. Rakyat dipaksa menyerahkan hasil pertanian, makanan dan hasil kerja kepada Jepang. Tipu daya Jepang yang ingin membantu rakyat untuk merebut tanah partikelir, perkebunan asing, dan tanah hutan, rupanya hanya diarahkan untuk menambah modal perang melawan Sekutu.
Singkat cerita dalam fakta sejarah, pada 17 Agustus 1960, sebulan sebelum Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) lahir, Soekarno menyusun pidato bertajuk "Laksana Malaikat yang Menyerbu dari langit, Jalan Revolusi Kita". Di pidato tersebut termaktub pula gagasan pembuatan UUPA yang dianggap kemajuan penting dalam Revolusi Indonesia. Senada dengan hasil kongres PKI, petani dan buruh diklaim Soekarno sebagai Soko Guru Revolusi. Sejumlah slogan pun disusun, mulai dari "Tanah Tak Bisa Dijadikan Alat Penghisap", "Tanah Untuk Penggarap", dan lain-lain.
Sementara, konsep Reforma Agraria ala UUPA 1960 dibuat dengan menyempurnakan rumusan yang sudah ada dari panitia-panitia sebelumnya. Konsep Reforma Agraria di sini menitikberatkan penghapusan kelas tuan tanah dan mengurangi jumlah petani tanpa tanah dengan memberi tanah kepada mereka.
UUPA sendiri, secara khusus, mengganti asas domain negara dengan konsep politico-legal baru yang disebut "Hak Menguasai dari Negara". Artinya, UU yang disahkan pada 24 September 1960 ini memungkinkan Warga Negara untuk mendapatkan hak kepemilikan tanah, seperti tertuang dalam pasal 21, 30 dan 36, yang tentu saja dengan pengawasan negara. UUPA juga mengatur batas kepemilikan tanah berdasarkan jenis tanah dan kepadatan penduduk. Hal itu juga mengatur sistem pembagian tanah yang dikelola panitia Reforma Agraria, tanah absentee (pemilikan tanah yang letaknya di luar daerah tempat tinggal yang empunya), tanah swapraja (bekas kerajaan), dan tanah lainnya. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 pun dibuat untuk melindungi petani penggarap dari tuan tanah.
Tidak berhenti di tataran teoritis, agenda Reforma Agraria dilakukan antara lain dengan menghapus tanah partikelir seluas 1.150.000 hektar dan mengkonversi hak erpacht (hak guna usaha atau hak kebendaan untuk menikmati kegunaan tanah kepunyaan pihak lain) menjadi hak guna usaha khususnya di sektor perkebunan yang sebelumnya dikuasai kolonialis. Akar-akar normatif dari UUPA sendiri adalah tentang asas-asas yang ideal sesuai dengan kebutuhan masyarakat, yakni :
- Asas Kebangsaan
- Asas Tingkatan yang Tertinggi, Bumi, Air, Ruang Angkasa dan Kekayaan Alam yang Terkandung di dalamnya
- Asas Mengutamakan Kepentingan Nasional dan Negara berdasarkan atas Persatuan Bangsa daripada Kepentingan Perseorangan dan Golongan
- Asas Semua Hak Atas Tanah Mempunyai Fungsi Sosial
- Asas Hanya Warga Negara Indonesia yang Dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah
- Asas Persamaan Bagi Setiap Warga Negara Indonesia
- Asas Tanah Pertanian Harus Dikerjakan atau Diusahakan Secara Arif oleh Pemiliknya Sendiri dan Mencegah Cara-Cara Bersifat Pemerasan
- Asas Tata Guna Tanah/Penggunaan Tanah Secara Berencana.
UUPA dengan asas-asas yang tertuang di dalamnya itulah yang dianggap sebagai tonggak dimulainya Reforma Agraria.
Sayangnya, sejak Soeharto berkuasa, agenda Reforma Agraria tersandung beberapa aturan yang justru berlawanan dengan marwah UUPA. Sebagaimana dengan adanya UU Kehutanan Tahun 1967, adalah penanda upaya pembangkangan atas UUPA yang telah disusun selama ini. Ditambah dengan UU soal penanaman modal asing yang membuat agenda Reforma Agraria makin porak poranda. Hal itu tidak terlepas dari corak Ekonomi Soeharto yang mengusung 4 (empat) paradigma, yakni : Nasionalisme, Populisme, Birokratisme Predatoris, dan Liberalisme Kapitalisme.
Alhasil, semua investasi yang diarahkan terhadap empat paradigma tersebut berujung pada pengambilalihan lahan dengan dalih untuk pembangunan. Ujung-ujungnya Rakyatlah yang harus menelan pil pahit dan menjadi korban. UU Perhutani kembali ke UUPA era kolonial, karena pemerintah sebagai pemegang otoritas tertinggi memberi kewenangan pemanfaatan hutan, termasuk penebangan hutan alam dan pengambilan hak produksi sepihak. Intinya, semua diarahkan untuk menarik investor datang ke Indonesia, mengambil alih tanah-tanah dan hutan, dengan dalih pembangunan dan kesejahteraan ekonomi. Hal itu diperparah dengan dikeluarkannya izin konsesi terkait.