Lihat ke Halaman Asli

Sistem Pendidikan Pancasila Yang Dipasung dan Disandera Kapitalisme

Diperbarui: 19 Juni 2023   17:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Amanah UUD 1945 sebagaimana yang termaktub dalam Mukadimahnya, yang salah satunya adalah "Mencerdaskan Kehidupan Bangsa", merupakan bagian dari keawajiban Negara  dalam memenuhi kebutuhan pendidikan bagi rakyatnya. Mencerdaskan kehidupan bangsa yang dimaksud, telah dirinci ke dalam Batang Tubuh UUD 1945, sebagai berikut : 

Pasal 31 UUD 1945 sebelum Amandemen :

  1. Tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
  2. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang.

Pasal 31 UUD 1945 sesudah  Amandemen IV :

  1. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
  2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidkan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
  3. Pemerintah mengusahkan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
  4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
  5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. 

Selanjutnya, dari Pasal Pendidikan UUD 1945 tersebut diturunkan ke dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 yang secara eksplisit memberikan pengertian tentang Pendidikan di RI, yakni sebagai berikut : 

  • Pendidikan, adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak yang mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 
  • Tujuan Pendidikan Nasional, adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab.

Lantas, bagaimanakah fakta realita penerapan pendidikan saat ini, di negeri ini? Apakah sudah sesuai dengan pengertian tujuan di atas? Mari dicermati secara seksama!

Sistem Pendidikan Bangsa di Negeri Ini Sudah Terinfeksi Oleh Virus-Virus Kapitalisme.

Sekolah, universitas, fakultas, jurusan yang favorit menjadi sangat mahal, menjadi lumbung duit bagi pengajar dan pengurus yang terlingkup di dalamnya. Bayangkan saja, untuk menjadi dokter harus menyiapkan duit milyaran rupiah, maka wajar saja bila mayoritas dokter lebih bersikap komersial daripada kemanusiaan, karena dilatarbelakangi oleh pencapaiannya yang membutuhkan modal besar. Bahkan, bila perlu, masyarakat dibuat sangat bergantung kepada dokter, agar pundi-pundi rupiah mengalir terus ke kantong mereka. Inilah fakta yang mejadikan masyarakat terjebak ke dalam pembodohan massal, menjadi tidak melek kesehatan dan ilmu pengobatan (terapi). 

Sebenarnya, demikian pula terhadap fakultas dan jurusan lainnya, yang sekalipun tidak semahal fakultas kedokteran.  Maka yang terjadi adalah betapa mayoritas alumnusnya hanya dalam rangka mengejar posisi, jabatan dan raihan pendapatan yang tinggi bin spektakuler. Jadi, sistem pendidikan kita saat ini sudah tak lagi dalam rangka "Mencerdaskan Kehidupan Bangsa", namun hanya cenderung mencetak mental-mental generasi serakah, generasi-generasi kapitalis dalam melakukan pembodohan demi pembodohan terhadap masyarakat.  

Materi-Kurikulum Dominan Teori.

Agar waktu tempuh (durasi) pendidikan menjadi panjang, maka Materi Ajar lebih banyak dijejalkan teori-teori yang rumit, renik dan njelimet, sehingga kurang praktis, juga tidak kontekstual.  Wajar saja bila peserta didik, begitu lulus, belum siap pakai ..!  Pun demikan halnya, bahwa panjangnya waktu tempuh pendidikan, berdampak mengurangi jenjang masa usia produktif bagi masyarakat.  

Apakah perlu menempuh Kuliah S-1 selama 4 (empat) hingga 7 (tujuh) tahun ?  Toch, setelah lulus, pengetahuan skill kerja masih minim ?  Jikalau waktu tempuh pendidikan bisa dipersingkat, kenapa hal itu tidak dilakukan ? Inilah gambaran kebodohan dan lemahnya pembuat kebijakan bangsa di negeri ini! 

Waktu dan jenjang pendidikan pun dibuat sedemikan rupa menjadi panjang dengan memperbanyak teori yang kian menguras kantong masyarakat dan negara.  Mayoritas dari guru-gurunya, nyata kurang berkompeten, di samping materi yang sarat dengan teori dan mayoritas guru/dosen yang memposisikan  sebagai akademisi, menjadikan sang pengajar kurang menguasai hal-hal praktis. Padahal, yang disebut Ilmu itu bukan hanya teori, namun harus mewujud dalam kenyataan. Salah satu tujuan dari pendidikan adalah arahan tentang penguasaan skill dan ketrampilan. Maka, wajarlah bila anak didik harus  mencapai kelulusannya hingga belasan tahun yang ujung-ujungnya: tidak mempunyai skill kerja apapun!

Sistem Pendidikan Yang Sangat Tidak Efektif dan Efisien.

Anggaran pendidikan di negara kita ini, terhitung sangat besar dan boros. Pada APBN 2019, Negara menganggarkan sektor pendidikan:  Rp. 500 Trilyun.  Dari jumlah tersebut, 60 % atau kisaran Rp. 300 Trilyun, hanya untuk alokasi gaji guru dan tunjangan. Namun parahnya, hasil capaian pendidikan kita: kompetensi yang minim dan tidak sebanding dengan besarnya anggaran.  Tak sebanding dengan biaya yang mahal dan waktu yang lama.   Sehingga yang mengemuka dari hasil capaian di ranah pendidikan kita adalah gambaran yang lebih menampakkan kebohongan dan membodohi masyarakat!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline