Adalah dua hal yang selalu tak terhindarkan sebagai satu causalitet verband dalam sejarah peradaban manusia di cakupan kehidupan sosial politik. Selalu dan selalu...
Politik, apapun definisinya dengan segala variasi pemaknaan, oleh siapapun dan bangsa manapun di panggung peradaban dunia, kesemuanya tak lebih dari apa orientasinya, yakni kekuasaan hegemonik...
Dan, bicara tentang kekuasaan, selalu mengarah pada : kejahatan, kekejian dan atau kekejaman !
Omong kosong, bullshit ! Bila ada yang menyatakan : "politik yang bermoral" atau "moral politik", atau lagi : "etika politik", tanpa mencibir buku karya Dr. Ahmad Sahide(Demokrasi dan Moral Politik), karya Franz Magnis-Suseno(Etika Politik) dan yang lainnya. Tidak, tidak ada maksud saya ke arah itu. Yang hendak saya kemukakan adalah satu keladak berdasarkan data dan fakta yang berasaskan prinsip filosofis : katakan terus terang, walau pahit sekalipun ... atau katakan terus terang, walau langit akan runtuh... Artinya, objektif apa adanya tanpa syak wasangka, adalah yang paling utama untuk dikemukakan. Tak perduli, apakah akan membentur terhadap yang merasa punya opini soal moral dan etika poilitik? Sebab, apakah memang sebuah fakta realita, bila politik itu ada yang bermoral dan beretika?
Mari disimak beberapa prinsip politik dari sekian prinsip-prinsip politik yang ada dan yang pernah diterapkan oleh hampir semua negarawan di dunia, yang merupakan nasihat politik seorang Niccolo Machiavelli sebagaimana dalam bukunya the Prince.
"Ketika kekuasaan telah tergenggam di tangan, maka jangan sekali-sekali berpikir bagaimana cara untuk melepaskannya. Namun, berpikirlah bagaimana cara untuk mempertahankannya dengan segala cara..." Begitulah nasihat seorang Machiavelli, yang prinsip-prinsip politiknya telah diadopsi dan dipraktikkan oleh sebagian besar negarawan yang pernah tampil di panggung kekuasaan yang tercatat dalam sejarah.
Di kala undang-undang suatu negara membatasi masa kekuasaannya maksimal hanya dua periode, maka dalam upaya mempertahankan kekuasaan, jika tak didapatkan pengganti pelanjut dari anggota keluarganya untuk meneruskannya, maka dicarilah sang pengganti yang berasal dari kerabatnya, kawannya atau yang satu kelompok(partai) segaris, yang setidak- tidaknya mampu meneruskan dan mempertahankan kekuasaan yang telah lepas secara formal, akibat undang-undang yang membatasinya. Yang kemudian, dengan satu harapan, bila terjadi pengusutan atau ada yang mengusik terhadap kebijakan sang penguasa di saat berkuasa dan di-judge minor, maka penguasa penggantinya dapat mem-protect-nya sehingga terbebas dari jerat hukum yang mengatur sebuah negara yang pernah dipimpin dan dikuasainya.
Begitulah salah satu fakta betapa politik itu lebih cenderung berorientasikan pada kekuasaan belaka, bukan soal moral ataupun etika.
Berikutnya, sebuah prinsip di ranah politik, yakni : "tak ada lawan atau kawan yang abadi dalam politik. Yang abadi adalah kepentingan dan kepentingan..."
Suatu ketika A dan B adalah kawan, maka karena ada muatan kepentingan yang berbeda, A dan B pun bisa berubah situasi dari kawan menjadi lawan. Demikian pula sebaliknya.
Peristiwa G-30 S/PKI 1965 adalah sebuah tragedi politik yang pernah tergurat dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, yang kemudian menempatkan rezim Orde Baru yang tirani selama 32 tahun, meningkahi Orde Lama yang dipimpin oleh Soekarno yang mampu mengguncang dunia dalam kepemimpinannya, bahkan sempat menjadikan Amerika sebagai sang adikuasa terganggu kiprah politik internasionalnya, yang akhirnya Amerika berupaya dengan sekuat tenaga dan segala cara, yakni bagaimana cara menaklukkan dan menguasai Indonesia agar jangan sampai dalam genggaman pesaingnya : Uni Soviet Rusia. Selanjutnya, pada giliran sejarah,telah berhasil mengangkat Soeharto di panggung kekuasaan sebagai boneka mainan kebijakan politik internasional yang disutradarai Amerika dengan sekutunya : NATO.