Sebagai orang tua, tentunya menyayangi dan menginginkan kebahagiaan bagi anak adalah suatu hal yang wajar. Namun hal ini menjadi keliru ketika penerjemahan kebahagiaan tersebut tidak menyertakan sudut pandang dari si anak. Kebahagiaan anak pada hari ini, banyak diartikan oleh para orang tua sebagai sebuah kesuksesan dalam mencapai prestasi akademik. Maka dari itu para orang tua kemudian berlomba-lomba untuk melakukan segala hal dalam upayanya membantu sang anak dalam pendidikan akademiknya.
Menjadi seorang pelajar dengan berbagai prestasi gemilang tentu saja menjadi harapan bagi peserta didik dan juga para orang tua. Dalam mencapai hal tersebut diperlukan berbagai upaya untuk dapat meningkatkan kemampuan akademik pelajar dengan cara yang signifikan, sehingga dapat bersaing dengan teman satu kelas maupun teman sekolahnya. Dalam mencapai hal ini para orang tua tidak segan-segan untuk melakukan berbagai cara demi mewujudkan prestasi akademik putra putrinya dengan maksimal. Maksut untuk memberikan pengajaran serta fasilitas pendidikan yang baik bagi anak tentunya adalah suatu tujuan yang mulia. Namun dalam perjalanannya sering terjadi praktik pemaksaan secara berlebih pada anak dalam melakukan sesuatu, demi mencapai prestasi yang gemilang.
Niat mulia untuk memberikan Pendidikan terbaik bagi anak tersebut, kemudian menjadi suatu hal yang salah bilamana tidak melibatkan demokrasi dalam keputusan yang diambil antara orang tua dan anak. Pemaksaan yang dilakukan secara terus-menerus dan berulang,tentu saja dapat menggangu psikologis anak. Banyak pemberitaan kondisi depresi yang muncul pada anak, hingga kasus bunuh diri karena pola pendidikan yang diberikan orang tua dengan niat ambisius dalam mencetak putra-putrinya menjadi kebanggan keluarga. Puncak depresi remaja ada di usia 15 dan 18 tahun. Hal ini dikarenakan dalam masa tersebut banyak tuntutan yang diharapkan pada remaja, dalam hal ini pencapaian prestasi akademik menjadi salah satunya (Hankin & Abramson, 1998)[1]
Kasus mengenai stress akademik yaitu seorang mahasiswa usia 20 tahun, bunuh diri di rumahnya (suara.com, 2018).[2] Kasus bunuh diri yang terjadi pada anak-anak dan remaja adalah selain pengaruh dari system pendidikan di Indonesia pada saat ini, adalah dilatar belakangi pula oleh pola pendidikan orang tua yang tidak berperspektif psikologis anak. Banyaknya kasus yang terjadi tersebut seolah-olah menggambarkan bahwa masih banyak orang tua yang menganggap bahwa kondisi emosional dan kesehatan mental anak bukanlah suatu hal yang penting. Padahal hakikatnya perwujudan kasih sayang pada putra-putri tercinta adalah dengan memberikan cinta kasih dan membiarkan mereka tumbuh dengan bahagia.
Tuntutan demi tuntutan yang menjadi agenda para orang tua untuk dapat dicapai putra-putrinya tentu saja memberikan beban secara psikologis bagi anak. Dengan pola komunikasi yang beragam antara anak dan orang tua, respons yang muncul dari tindakan ini tentu saja berbeda-beda. Ada jenis emosi yang kemudian muncul sebagai perasaan amarah terhadap orang tua tersebut, atau justru emosi yang dipendam. Emosi yang dipendam ternyata menyimpan bahaya yang lebih, karna tanpa diketahui ternyata luka di dalam perasaan anak telah semakin parah tanpa disadari para orang tua, sehingga anak tumbuh menjadi pribadi yang apatis.
Pada umunya ada tiga pola pengasuhan yang sering dilakuka dalam keluarga, 1) gaya pengasuhan otoriter yang cenderung mengatur anak, keras dan tidak membiarkan anak mengungkapkan keinginannya, 2) gaya pengasuhan demokratis yang memberi kesempatan anak untuk mengungkapkan pendapatnya, cenderung mengajak anak berkomunikasi mengenai batasan-batasan dalam kehidupannya. 3) gaya pengasuhan permisif cenderung melepaskan anak sesuai keinginannya sendiri, tidak ada batasan jelas bagi anak dalam menjalani kehidupan.[3]
Menyoal tentang psikologis anak yang terbebani oleh tuntutan-tuntutan orang tua, seringkali muncul sebagai dampak dari pola pengasuhan yang pertama, yaitu jenis pengasuhan otoriter. Pola komunikasi satu arah yang terjadi dapat megakibatkan psikologis anak kemudian merasakan tidak diberikannya ruang untuk mengekspresikan diri. Hal ini dapat berdampak pada kondisi-kondisi lain, misalnya psikologis anak yang merasa kehilangan jati dirinya.
Padahal idealnya, keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama dan yang utama dalam masyarakat, karena keluarga menjadi tempat seseorang dilahirkan dan berkembang menjadi dewasa. Perlu diketahui juga bahwa bentuk dan cara yang diterapka dalam pendidikan di keluarga dapat memberikan pengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan seorang anak.
Pertumbuhan dan perkembangan pada anak tentu saja yang dimaksud bukan hanya perkembangan secara jasmaniah, tetapi juga secara rohaniah. Pendidikan dan pola komunikasi yang sehat dari orang tua tentunya akan berdampak pada kecerdasan emosional anak. Dimana dalam beberapa penelitian dibuktikan bahwa emotional quotient (EQ) pada manusia justru dapat membawa kesuksesan di masa depan. Kemampuan untuk bersosialisasi dan kerja sama tim akan lebih dapat dilakukan oleh anak-anak yang dibiarkan untuk tumbuh dan berkembang dengan bahagia.
Pada akhirnya segala upaya yang dilakukan orang tua dalam mendidik putra-putrinya tentu saja untuk menyiapkan masa depan yang baik bagi si anak. Namun demikian rasa kasih sayang tersebut kadangkala tidak mampu ditransformasikan dengan baik manakala psikologis tumbuh kembang anak tidak diperhatikan. Begitupula seringkali terjadi kegagalan kita sebagai seorang anak dalam menerjemahkan kasih sayang tersebut dan terlampau takut untuk mulai mencoba mengkomunikasikannya. Kegagapan dalam memahami satu sama lain, kemudian seiring berjalannya waktu akan dapat saling kita sadari. Bahwa kunci relasi yang sehat dan seimbang antara orang tua dan anak adalah dengan adanya demokrasi dalam keluarga, sehingga pendapat dan pemikiran satu sama lain dapat dimusyawarahkan bersama agar tercipta suatu keputusan yang baik dan menggembirakan bagi satu sama lain.