Kebanyakan orangtua anak autistik, sempat berpikir bahwa masalah akan sirna sejalan dengan waktu. Sayangnya gangguan perkembangan ini cenderung bersifat menetap, sehingga dampak dalam kehidupan bisa terus mengikuti sampai usia dewasa.
Dalam bukunya ’Adolescents on the Autism Spectrum’, Sicile-Kira (2006) menjabarkan beberapa ranah permasalahan. Antara lain aspek kesehatan (makanan, kondisi kejang, depresi, masalah higiene, pubertas yang terlalu cepat, toileting, masturbasi, seksualitas); aspek sensoris dan keterampilan motorik; aspek perilaku (kepatuhan pada aturan, respons ’flight-or-fight’ menghadapi masalah, sulitnya adaptasi dengan perubahan aturan dan rutinitas); aspek kognitif (kecerdasan, generalisasi, pemecahan masalah, daya ingat); aspek kematangan emosi; serta aspek komunikasi dan berbahasa.
Remaja autistik yang tidak beruntung akan bingung menghadapi perubahan dalam tubuhnya maupun perasaannya. Sementara bagi remaja yang lebih paham dan berpendidikan, ada tambahan kesulitan beradaptasi dengan dunia sosial dimana teman seusia sudah lebih berkembang. Bagi orangtua, banyak kecemasan dan keprihatinan. Anak sudah makin tua, orangtua juga makin tua, sehingga tentu saja, makin lelah (Sicile-Kira, 2006). Berbagai tantangan dihadapi keluarga dengan remaja autistik (Hecimovic dan Gregory, dalam Zager, 2005) antara lain: tidak adanya dukungan dari lingkungan, stres dalam keluarga, masalah keuangan, masalah pendidikan lanjutan, masalah ketersediaan lapangan kerja dan masalah masa depan. Masyarakat menuntut remaja lebih mampu mengatur perilakunya, justru pada saat dimana remaja makin ’sulit diatur’. Bukan saja sulit diatur, kadang perilaku agresif atau ’menyakiti diri sendiri’ meningkat dengan tibanya masa pubertas (Sicile-Kira, 2006).
Bagaimana sebaiknya lingkungan menyikapi permasalahan ini?:
- Sejak balita ajari anak untuk mencapai tingkat higiene yang menjadi masalah ketika anak remaja (mandi, gosok gigi, pakai deodoran, cukur kumis, pakai pembalut, cuci muka pakai obat jerawat, pakai penutup dada dst). Mengajari kebiasaan baru lebih mudah ketika anak kecil, bukan ketika anak sudah cenderung membangkang dan sulit diarahkan.
- Perlakukan anak sesuai usia kalender. Misal, tidak cium peluk pangku anak usia 10 tahun, melatih anak tidur di ruangan terpisah, melatih mandi dengan pintu kamar mandi tertutup, memberi tanggung jawab kebersihan di kamarnya.
- Beri kegiatan sesuai usia untuk dilakukan saat tidak pergi ke sekolah atau belajar/ terapi. Mereka perlu tahu bagaimana mengelola waktu luangnya tanpa pendampingan. Misal, menonton film kesukaan, mengisi teka-teki silang, memasak, membersihkan rumah, bermain computer, membaca, melukis, mewarna, menjahit dsb. Ini sangat penting untuk dapat membantu si remaja mengelola hasrat seksual mereka yang (mungkin) berkembang pesat sesuai perkembangan fisiknya kelak.
- Pusatkan penanganan di rumah pada pencapaian tingkat ‘mandiri’ maksimal, mulai dari mandiri urus diri sendiri (toileting, makan/minum, berpakaian, mandi, kegiatan waktu luang) sampai kepada mandiri atur keuangan (paham batasan pemasukan dan pengeluaran, paham belanja) dan penggalangan minat-bakat anak untuk memberikan keterampilan sebagai bekal ia hidup berdikari di kemudian hari.
- Ajarkan anak mengelola emosinya, mengingat bahwa usia remaja sering disertai dengan perubahan emosi yang cepat serta (kadang) signifikan. Anak harus diajarkan perilaku ekspresi emosi yang adaptif diterima masyarakat, dan mengendalikan diri sendiri sehingga tidak begitu saja ekspresi emosi tanpa dapat dikendalikan.
- Beri pengarahan sikap benar dan salah dalam membawa diri di lingkungan masyarakat, termasuk, bagaimana bersikap terhadap lawan jenis serta bagaimana menjaga diri terhadap orang lain dan bagaimana menyelamatkan diri sendiri.
- Buat mereka paham bahwa apa pun yang ia hadapi adalah wajar. Semua laki dewasa tumbuh bulu, tapi ada yang dibiarkan ada yang dicukur. Semua perempuan dewasa keluar darah pada hari tertentu, harus tetap bersih, dan tidak ada yang sakit.
Tidak berbeda dengan pada remaja umumnya, bagian terpenting penanganan anak autistik adalah pengakuan akan kelebihan maupun keterbatasan mereka sebagai individu, sekaligus menyayangi mereka tanpa syarat. Ketika mereka merasa ‘diterima’, itulah saat dimana mereka siap berusaha keras untuk dapat berkembang maksimal. Perubahan fisik, psikologis, emosional dari anak menjadi remaja dan dewasa dapat disikapi dengan efektif efisien bila keluarga melihat ini sebagai sesuatu yang wajar, alamiah, terjadi pada siapa saja, sehingga bersiap jauh sebelum waktunya terjadi dengan mengacu pada fakta ilmiah.
Dyah Puspita A.Monareh, psikolog, ibu dari Ikhsan Priatama, autistik, non-verbal, 21 tahun.
Hecimovic & Gregory (2005) Identification, Education and Treatment dalam Autism Spectrum Disorders 3rd edition, edited by Diane Zager. London: Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
Sicile-Kira, Chantal (2006) Adolescents on the Autism Spectrum – A Parent’s Guide to the Cognitive, Social, Physical, and Transition Needs of Teenagers with Autism Spectrum Disorders; NewYork: Penguin Group.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H