**Kisah di Balik Hujan**
Langit sore itu berwarna kelabu, menyimpan rintik-rintik air yang siap tumpah kapan saja. Hujan adalah hal yang selalu dirindukan oleh Sasa, meski bagi banyak orang ia adalah penghalang. Di beranda rumah kayu tua itu, Sasa duduk dengan secangkir teh melati di tangan, menatap jalanan lengang yang mulai basah oleh air hujan.
"Hujan selalu membawa cerita, ya," gumamnya pelan.
Kenangan masa lalu segera menyusup bersama bau tanah yang menyeruak setelah hujan pertama. Dulu, hujan adalah sahabatnya. Waktu kecil, ia selalu menari di bawah hujan bersama Bima, teman kecilnya yang kini entah di mana.
"Sa, kau tahu nggak? Katanya hujan itu air mata langit," kata Bima suatu ketika.
"Air mata? Kenapa langit menangis?" tanya Sasa sambil mendongak, membiarkan wajahnya basah oleh gerimis.
"Karena dia kesepian. Nggak ada yang menemaninya di atas sana," jawab Bima sambil tersenyum, senyum yang selalu membuat Sasa merasa hangat, bahkan di tengah hujan yang dingin.
Tapi waktu berlalu, hujan tak lagi seceria dulu. Ketika Sasa beranjak remaja, Bima pindah tanpa kabar. Hari itu hujan deras, seperti ingin menyampaikan selamat tinggal yang tak pernah terucap.
Kini, bertahun-tahun kemudian, Sasa kembali memikirkan Bima setiap kali hujan turun. Apakah dia juga mengingatnya? Atau hanya Sasa yang terjebak dalam kenangan?
Ketukan di pintu mengalihkan perhatian Sasa dari lamunannya. Ia bangkit, membuka pintu dengan hati-hati. Di hadapannya berdiri seorang pria dengan payung hitam dan senyum yang tak asing.
"Bima?"