Jember, 17 November 2024 -Pasar properti di Indonesia terus berkembang pesat dewasa ini, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Sektor properti tidak hanya menjadi indikator penting bagi pertumbuhan ekonomi tetapi juga menjadi sumber spekulasi. Salah satu instrumen yang digunakan untuk menjaga kestabilan sektor ini adalah kebijakan Loan-to-Value (LTV). Kebijakan ini telah diterapkan oleh Bank Indonesia (BI) sejak beberapa tahun terakhir dan bertujuan untuk mengendalikan pertumbuhan kredit properti yang tidak terkendali dan mencegah munculnya gelembung aset. Namun, apakah kebijakan LTV ini efektif dalam mengendalikan kredit properti di Indonesia?
Loan-to-Value (LTV) adalah rasio antara jumlah pinjaman yang diberikan oleh bank dan nilai properti yang dijadikan jaminan. Secara sederhana, kebijakan ini membatasi seberapa besar proporsi kredit yang dapat diberikan dibandingkan dengan nilai properti yang dibeli atau dibiayai. Misalnya, jika seorang pembeli properti ingin membeli rumah senilai Rp1 miliar dan bank menerapkan kebijakan LTV sebesar 80%, maka bank hanya akan memberikan pinjaman sebesar Rp800 juta dan sisanya harus dibayar oleh pembeli melalui uang muka (down payment).
Penerapan LTV bertujuan untuk membatasi rasio utang terhadap nilai properti sehingga meminimalkan risiko kredit macet dan spekulasi berlebihan di pasar properti. Dengan kebijakan LTV, bank juga dapat memastikan bahwa nasabah memiliki komitmen finansial yang cukup untuk membeli properti dan tidak terjebak dalam utang yang berlebihan.
Kebijakan LTV pertama kali diterbitkan oleh Bank Indonesia pada 2012 untuk mengatasi masalah pertumbuhan kredit properti yang sangat cepat, terutama pada sektor perumahan. Dalam beberapa tahun terakhir, sektor properti Indonesia mengalami pembengkakan harga dan membuka ruang bagi praktik spekulasi di mana pembeli membeli properti bukan untuk dihuni, tetapi untuk dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan di pasar yang dapat menyebabkan risiko gelembung aset.
Dengan menerapkan kebijakan LTV, Bank Indonesia berusaha untuk menstabilkan pasar properti dengan mengurangi potensi risiko kredit macet. Pembatasan LTV bertujuan untuk memastikan bahwa pembeli properti memiliki kemampuan finansial yang lebih baik dan tidak terbebani oleh utang yang lebih besar dari nilai properti yang dimiliki. Sebagai contoh, jika pembeli hanya mampu membayar uang muka sebesar 20 persen maka akan lebih berhati-hati dalam menentukan apakah properti yang dibeli memang bernilai sesuai dengan kemampuanpembeli . Hal ini diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya pembelian properti secara spekulatif.
Meskipun kebijakan LTV memiliki tujuan yang baik yaitu untuk mengendalikan pertumbuhan kredit properti yang tidak terkendali dan mengurangi risiko spekulasi, namun efektivitas kebijakan ini di Indonesia masih menjadi perdebatan. Terdapat beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mengevaluasi keberhasilan kebijakan ini.
Pengaruh terhadap Akses Pembiayaan Properti
Meskipun LTV bertujuan untuk mengurangi risiko utang yang berlebihan, kebijakan ini juga dapat membuat masyarakat dengan penghasilan menengah ke bawah kesulitan untuk membeli rumah karena pembatasan rasio pinjaman dapat menghambat akses masyarakat terhadap pembiayaan properti. Dalam situasi di mana harga properti terus meningkat maka uang muka yang tinggi dapat menjadi hambatan besar bagi banyak calon pembeli rumah.
Hal ini berisiko memperburuk masalah ketimpangan sosial karena hanya kelompok tertentu yang mampu membeli properti sementara sebagian besar masyarakat terhalang oleh harga properti yang tinggi dan kebutuhan uang muka yang besar. Sehingga kebijakan LTV seharusnya lebih fleksibel khususnya untuk program perumahan yang ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Dampak pada Pembelian Properti untuk Investasi
Kebijakan LTV dapat berdampak pada pembeli yang membeli properti untuk tujuan investasi. Dengan pembatasan LTV, pembeli mungkin perlu menyediakan lebih banyak dana secara tunai untuk membeli properti. Hal ini dapat memperlambat motif spekulasi properti. Di sisi lain, hal tersebut dapat mengurangi daya tarik properti sebagai instrumen investasi.