Jember, 10 November 2024 - Ketidakpastian ekonomi global semakin memburuk ditandai dengan prospek ekonomi yang terus melemah dan tanda-tanda pemulihan yang belum terlihat. Berbagai faktor seperti ketegangan perdagangan internasional, perubahan kebijakan moneter di negara-negara maju dan fluktuasi harga komoditas global telah menciptakan kondisi ekonomi yang tidak stabil. Situasi ini tidak hanya menghambat pertumbuhan ekonomi saja namun juga menimbulkan gejolak di pasar keuangan. Di tengah ketidakpastian ini, banyak negara terutama negara dengan sistem perekonomian terbuka seperti Indonesia, dihadapkan pada tantangan besar dalam menjaga kestabilan makroekonomi karena ketidakpastian ini semakin memperburuk sentimen pasar, mengurangi arus investasi, serta meningkatkan volatilitas nilai tukar, yang pada akhirnya dapat mengganggu kegiatan ekonomi domestik.
Selama beberapa dekade terakhir, dunia telah menghadapi berbagai guncangan yang memberikan dampak luar biasa terhadap kinerja perekonomian baik global maupun domestik. meninggalkan dampak mendalam. Krisis Keuangan Asia pada tahun 1997, misalnya, memicu resesi yang parah di banyak negara Asia, termasuk Indonesia, dengan dampak langsung berupa depresiasi tajam nilai tukar Rupiah. Kemudian, Krisis Keuangan Global pada tahun 2008 kembali menguji ketahanan ekonomi Indonesia karena mengakibatkan penurunan tajam di pasar saham global dan ketidakpastian yang memengaruhi nilai tukar Rupiah serta stabilitas sektor keuangan domestik.
Tak lama setelah itu, fenomena Taper Tantrum pada tahun 2013 yang dipicu oleh pengumuman The Federal Reserve terkait pelonggaran kebijakan Quantitative Easing kembali menciptakan gejolak di pasar keuangan global. Dampak dari ketegangan pasar tersebut adalah pelemahan nilai tukar Rupiah yang mencapai sekitar Rp10.000 per USD, dan sejak peristiwa tersebut, Rupiah tidak pernah berada di bawah level tersebut. Ketidakpastian yang muncul akibat ekspektasi perubahan kebijakan moneter The Fed menyebabkan arus modal keluar dari sehingga memperburuk tekanan lebih lanjut terhadap nilai tukar Rupiah.
Tidak berhenti sampai di sana, guncangan besar kembali terjadi yaitu adanya Pandemi COVID-19 yang melanda dunia pada tahun 2020. Pandemi ini sangat mengguncang perekonomian secara global. Pembatasan aktivitas ekonomi, ketidakpastian pasar, dan penurunan tajam dalam permintaan global menciptakan tekanan besar pada Indonesia. Tekanan itu telah direspon oleh Pemerintah juga Bank Indonesia melalui bauran Kebijakan Fiskal dan Moneter yang disebut sebagai Burden Sharing dikeluarkan untuk mengatasi dampak dari Pandemi COVID-19 yang mengguncang stabilitas ekonomi domestik ditandai dengan depresiasi nilai tukar Rupiah pada sepanjang tahun 2020.
Keberlanjutan guncangan eksternal hingga dewasa ini ditandai dengan isu ketegangan politik yang semakin memanas. Ketegangan antara Rusia-Ukraina, Timur Tengah tak terkecuali polemik Terusan Suez yang memperburuk rantai pasokan global sehingga menyebabkan inflasi secara berkepanjangan yang direspon oleh sikap hawkish dari The Fed. Berdasarkan data dari IMF (2024), suku bunga The Fed (FFR) berada di tingkat 0,13 persen pada tahun 2021 dan tetap berada di level nol meskipun terdapat peningkatan pada kuartal pertama 2022 yaitu sebesar 0,38 persen. Peningkatan drastis FFR mulai terlihat pada tahun 2023 yaitu sebesar 4,88 persen pada kuartal pertama dan mencapai angka 5 persen pada kuartal kedua hingga keempat. Sikap hawkish yang dilakukan oleh The Fed tentu meningkatkan risiko pasar dan memperburuk sentimen investor terhadap Indonesia karena berdampak pada penekanan nilai tukar Rupiah ditandai dengan terus melemahnya Rupiah terhadap USD.
Untuk pertama kalinya, setelah terjadinya Krisis Keuangan Asia 1997, nilai tukar Rupiah mencapai angka kisaran Rp15.000 per USD. Sepanjang tahun 2023, nilai tukar Rupiah adalah Rp15.062 per USD pada kuartal pertama dan cenderung stabil pada kuartal kedua. Pelemahan nilai tukar rupiah terjadi pada kuartal ketiga yakni sebesar Rp15.526 dan kembali menguat menjadi Rp15.416 pada kuartal keempat. Nilai tukar Rupiah semakin memburuk pada tahun 2024 karena mencapai kisaran Rp16.000 per USD pada Bulan April namun kembali menguat pada Bulan September pada angka Rp15.300 per USD.
Pergerakan nilai tukar Rupiah mulai terlihat setelah Bank Indonesia menghapus sistem kurs tetap pada 14 Agustus 1997 sebagai respons terhadap Krisis Keuangan Asia. Keputusan ini mengakibatkan pergerakan nilai tukar Rupiah yang sangat fluktuatif, dengan puncaknya terjadi pada pertengahan Januari 1998 ketika nilai tukar Rupiah anjlok pada kisaran Rp17.000 per USD. Sejak kebijakan tersebut diterapkan, Rupiah menjadi semakin rentan terhadap guncangan eksternal, mengingat Bank Indonesia tidak lagi menetapkan ambang batas untuk nilai tukar. Sehingga Rupiah sepenuhnya dipengaruhi oleh mekanisme pasar yang cenderung menciptakan ketidakpastian. Dampaknya adalah nilai tukar Rupiah menjadi lebih sensitif terhadap perubahan kondisi ekonomi global dan faktor-faktor eksternal lainnya yang dapat menyebabkan volatilitas di pasar keuangan domestik.
Volatilitas nilai tukar Rupiah berdampak pada keseimbangan neraca pembayaran yang tercermin dari kinerja ekspor dan impor Indonesia. Berdasarkan data BPS (2024), pada tahun 2023 nilai ekspor Indonesia tercatat sebesar 258.774,4 juta USD dan mengalami penurunan sebesar 11,33 persen dibandingkan tahun 2022. Selain itu, dari pasar saham, arus keluar modal asing pada tahun 2022 mencapai Rp1,48 triliun dan meningkat menjadi Rp10,74 triliun pada tahun 2023. Penurunan kinerja ekspor yang disertai dengan peningkatan arus modal keluar ini menunjukkan bahwa pelemahan nilai tukar Rupiah turut berkontribusi terhadap ketidakseimbangan dalam Neraca Pembayaran Indonesia yang pada gilirannya berdampak pada stabilitas ekonomi domestik.
Pada akhirnya, pergerakan nilai tukar Rupiah tidak hanya mencerminkan kondisi perekonomian domestik secara langsung, tetapi juga berperan sebagai indikator utama dalam menarik aliran modal asing dan memengaruhi keseimbangan neraca pembayaran. Ketika nilai tukar Rupiah stabil atau menguat maka dapat meningkatkan kepercayaan investor asing yang berpotensi mendorong aliran modal masuk baik dalam bentuk investasi langsung maupun portofolio. Sebaliknya, jika nilai tukar Rupiah melemah maka dapat menciptakan ketidakpastian yang mengurangi minat investor untuk menanamkan modal di Indonesia sehingga memperburuk neraca pembayaran.
Keduanya, baik aliran modal yang masuk maupun keluar, memiliki pengaruh langsung terhadap cadangan devisa yang merepresentasikan kestabilan ekonomi domestik. Oleh karena itu, pergerakan nilai tukar menjadi salah satu indikator penting dalam mengukur sejauh mana dampak dinamika ekonomi global terhadap perekonomian domestik yang pada akhirnya akan mempengaruhi stabilitas keuangan dan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Sumber gambar: pixabay.com