Lihat ke Halaman Asli

Perpustakaan Perguran Tinggi: Menyambut Asa Generasi Millenial

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Aduh, aku belum sempat mendownload file kuliah tadi siang, nih,” ucap Fadilla(27 th) mahasiswa pasca sarjana di sebuah perguruan tinggi negeri ternama di kawasan Depok Jawa Barat berucap pada temannya. Padahal, ia sedang asyik di depan laptopnya, sembari telapak tangan kirinya terus memencet keypad handphone entah berkirim pesan pada siapa.

Itulah gambaran mahasiswa masa kini yang lekat dengan perangkat genggam (gadget) digital. Bagi mereka beragam informasi seolah berada di depannya dan dengan gampang diraih dengan sekali klik. Generasi ini, menurut William Straus dan Neil Howe disebut sebagai generasi millenial. Dalam buku Millenials Rising : The Next Great Generation (2000) Straus dan Howe membatasi generasi ini adalah orang yang lahir pada tahun 1983 hingga akhir 2001 di Amerika Serikat. Di buku tersebut, kedua peneliti kohor ini menyebut ada tujuh sikap yang merefleksikan generasi millenial yakni istimewa (special) ternaungi (sheltered), percaya diri (confident), berorientasi ke kelompok (team-oriented), pencapaian (achieving), dalam tekanan (pressured), konvensional (conventional). Penjelasan lebih dalam datang dari Don Tapscott pengarang buku Grown Up Digital (2009). Ia menyebut generasi millenial sebagai net generation yang memiliki delapan norma khusus yakni : kebebasan (freedom), kustomisasi (customization), peneliti yang cermat (scrunity), integritas (integrity), kolaborasi (collaboration), hiburan (entertainment), kecepatan (speed), dan inovasi (innovation).

Meskipun potret generasi di atas terjadi di Amerika Serikat, fenomena kelahiran generasi baru ini juga melanda di Indonesia. Setidaknya di beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, atau Yogyakarta, kemunculan generasi millenial yang sangat sadar (aware) terhadap teknologi telekomunikasi sangat terlihat. Karena itu, dari berbagai ciri yang dikemukakan para peneliti di atas, dapat digarisbawahi bahwa generasi ini memang memiliki karakteristik khusus terutama dalam mengakses sebuah informasi. Bagi mereka dunia digital dan internet menjadi sesuatu yang melekat sejak mereka lahir. Karena itu mudah dipahami, bagaimana mereka sangat melek dengan teknologi informasi termasuk aplikasi-aplikasi di dalamnya. Ketika mereka ingin membutuhkan suatu referensi, mereka dengan mudah dapat menemukannya di mesin pencari Google, Google Cendekia, atau di Wikipedia. Kalau masih belum puas dengan penjelasan virtual yang mereka dapatkan, mereka tidak akan segan-segan mengikuti diskusi dalam forum berbagi (sharing forum) baik lewat email, blog, atau sarana lain untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap. Terlebih semua serba interaktif. Mau jawaban sekarang tinggal tulis pertanyaannya, penjelasan dengan segera muncul kadang malah dalam bentuk multimedia.

Inilah sebenarnya tantangan terbesar bagi perpustakaan, terutama perpustakaan perguruan tinggi saat ini dan di masa depan. Perpustakaan tidak hanya dihadapkan pada persoalan bagaimana melakukan integrasi teknologi informasi ke dalam layanan konvensional perpustakaan. Bagaimana mereka harus bersusah payah melakukan digitalisasi dan automasi terhadap koleksi fisik yang jumlahnya puluhan ribu. Pada saat bersamaan, di sisi pemustaka, usia yang dilayani pun semakin bergeser. Akan semakin banyak generasi millenial atau net generation yang harus dilayani dibandingkan generasi-generasi sebelumnya. Kemunculan pemustaka yang datang dari generasi millenial ini tentu membutuhkan perhatian yang lebih bagi pustakawan, agar perpustakaan nantinya tidak sekadar sebagai pelengkap fasilitas sebuah universitas saja, akan tetapi dapat menjadi institusi dambaan bagi generasi millenial. Masalahnya apakah dengan sekadar melakukan automasi dan digitalisasi perpustakaan, generasi millenial akan dapat terlayani dengan baik?

Langkah-langkah Antisipatif

Dapat bayangkan saat ini seorang mahasiwa tingkat awal simbol generasi millenial mencari bahan kuliah. Mereka tidak harus selalu datang ke perpustakaan, karena bahan kuliah dapat dicari di internet. Tinggal bagaimana kepandaian dan kelihaian memilih dan mengelola informasi di internet dalam memenuhi kebutuhan. Perpustakaan kemudian bukan lagi menjadi tujuan pertama dan utama untuk mendapatkan bahan bacaan yang dibutuhkan. Perpustakaan perguruan tinggi yang pada awalnya menjadi tempat utama bagi civitas akademika untuk mendapatkan bahan pustaka yang diperlukan untuk mengerjakan tugas atau update informasi lain, pelan namun pasti mulai tergeser dan tergantikan oleh perangkat serba digital, serba simpel serta cepat saji. Kemunculan buku digital (e-book) ditunjang oleh kehadiran pembaca buku format digital seperti Kindle yang dikeluarkan oleh Amazon.com, Skiff Reader, hingga Apple iPad menjadi contoh yang relevan.

Mengenai kehadiran teknologi yang tidak dapat dilawan tersebut, AntyhonyGiddens, sosiolog dari Inggris,mengatakan dalam bukunyaThe Consequences of Modernity.Ia mengamati jalannya dunia sekarang ini dalam kondisi ketidakpastian. Ketidakpastian ini direkayasa oleh manusia sendiri berkat teknologi yang diciptakannya, atau yang dikenal dengan istilah ”Manufactured Uncertainy”. Dengan sebuah metafor Juggernaut (truk besar) yang meluncur tanpa kendali sehingga tidak ada satu manusia pun yang mampu meloloskan dari situasi seperti ini sekaligus tidak ada satu pun manusia yang dapat mengendalikannya. Dalam hal ini, perkembangan teknologi yang dibuat dan dirancang oleh manusia, ternyata manusia sendiri terkadang tidak mampu mengendalikan kemajuan dan dampak dari kemajuan teknologi tesebut. Begitupun bagi perpustakaan, perkembangan teknologi yang cepat dan canggih menyebabkan perubahan pada perilaku pemustaka yang diwakili oleh generasi millenial atau net generation.

Meskipun ungkapan Giddens terkesan agak pasrah dan pesimistis pada teknologi, bagi perpustakaan jelas perlu langkah antisipatif dalam menghadapi generasi baru ini. Pertama, harus ada perubahan pola pikir (mindset)dari pustakawan perpustakaan perguruan tinggi dengan melihat ciri-ciri perilaku dari generasi tersebut. Generasi ini tidak dapat diperlakukan sama dengan generasi-generasi sebelumnya. Mindset ini penting untuk mengukur sejauh mana ‘jarak’ antara perpustakaan, pustakawan dan pemustaka dalam hal ini mahasiswa generasi millenial. Karena ciri generasi ini kerap melibatkan interaksi yang intens, kesetaraan, dan terkustomisasi, maka selayaknya perpustakaan dapat menyediakan diri dengan layanan yang memiliki ciri serupa. Bukan jamannya lagi memaksa mahasiswa berkutat ke perpustakaan selagi perpustakaan tidak mampu mengubah dirinya sendiri menjadi institusi yang interaktif, menghibur, mudah dijangkau, dan mampu mengerti kebutuhan masing-masing pemustakanya.

Langkah antisipatif kedua yang dapat dilakukan adalah meninjau ulang desain sistem layanan perpustakaan. Memang penting melakukan upaya digitalisasi dan automasi perpustakaan, tapi itu sifatnya lebih statis, karena tidak ada pelibatan aktif pengguna dalam perancangan sistem layanan tersebut. Dalam konteks ini, layanan perpustakaan yang lebih dinamis dan interaktif menjadi kebutuhan amat penting untuk menggapai kepercayaan generasi millenial. Idealnya, layanan perpustakaan bisa seperti layanan perbankan yang online 24 jam, bisa diakses dari internet maupun ponsel, dan ada hotline 24 jam. Jadi kapanpun dan dimanapun mahasiswa membutuhkan perpustakaan, ia akan dilayani dengan sebaik-baiknya. Ini artinya ketika merancang sistem automasi dan digitalisasi perpustakaan, aspek penunjang interaksi antara mahasiswa dan perpustakaan ini masuk dalam bagian dari rencana pengembangan. Ibaratnya, perpustakaan merancang situs dengan kemampuan penggabungan dari situs Facebook, Twitter, dan Youtube. Layanan yang mengarah kepada standar kecepatan, efisiensi dan menuju pada kebutuhan konsumen adalah faktor utama yang harus diperhatikan. Meskipun kedengaran agak utopis, bila perpustakaan mampu mewujudkan gagasan tersebut, tentumahasiswa generasi millenial yang akan mendapat banyak manfaat.

Inilah yang disebut dengan perpustakaan yang berorientasi pada pelanggan. Perpustakaan tidak hanya melakukan interaksi secara fisik, akan tetapi interaksi secara virtual atau interaksi di dunia maya. Konsep dasar ini tertuang dalam library 2.0. Perkembangan teknologi informasi yang cepat telah melahirkan konsep web 2.0. Konsep web 2.0 mengembangkan konsep web yang memungkinkan pengguna dapat berinteraksi di dalamnya. Perkembangan pesat web 2.0 telah mengilhami munculnya library 2.0. menurut Michael E. Casey dan Laura C. Savastinuk (2006), library 2.0 adalah sebuah konsep layanan perpustakaan yang mendorong perubahan pada layanan perpustakaan dengan mengedepankan orientasi pada pelanggan. Pemustaka dapat berpartisipasi dalam menciptakan layanan yang sesuai dengan kebutuhan pengguna dan evaluasi terhadap layanan pun dapat dilakukan dengan seksama.

Itu dari perspektif perpustakaan. Dalam perspektif pustakawan, pada era banjir informasi seperti yang dihadapi generasi millenial itu tersembul satu peluang besar penyediaan informasi. Seperti disinggung oleh Saracevic & Woods(1981) dan Bunch (1984), bagaimana menyediakan layanan informasi yang cocok, perlu dilakukan proses ulang dan kemas ulang, serta menyajikan informasi sesuai kehendak dari pengguna. Kemas ulang informasi menjadi pekerjaan rumah besar bagi para pustakawan menghadapi pemustaka dari generasi millenial. Kedua peneleti itu menyebut kemas ulang informasi dapat dilakukan dengan cara : memformat dan mensintesis informasi mentah, mengkombinasikan keahlian dari subjek sebagai sumber informasi yang relevan, dan menyediakan asistensi ke pengguna dalam mengakses informasi. Karena itu, ada sebuah proses sistematis dalam memberi nilai tambah pada sebuah layanan informasi. Bentuknya dapat bermacam-macam, dapat berupa tulisan dengan mengkaitkannya ke berbagai sumber, atau menggabungkan antara lagu, drama, atau dongeng. Dalam konteks teknologi yang lebih luas, kemas ulang informasi ini menggabungkan antara teks, grafis, media audio, hingga video. Tentu saja ini –bagi pustakawan- membutuhkan keterampilan khusus yang harus terus diasah, sehingga informasi yang dikemas ulang memang benar-benar sesuai dengan keinginan dan kebutuhan pemustaka.

Terlebih bila kemudian perpustakaan memiliki fasilitas mesin pencari pada informasi yang telah dikemas ulang tersebut. Pemustaka dengan mudah bisa melakukan penjejakan (tracking) buku atau referensi apa saja yang dibutuhkan untuk meneliti sebuah tema tertentu. Apalagi bila mesin pencari ini bisa berlaku 24 jam, ciri kustomisasi yang lekat dengan generasi millenial dapat diantisipasi melalui penyediaan informasi yang telah dikemas ulang. Kalau ini dapat dengan mulus dilakukan, ikatan (bonding) antara pemustaka dan perpustaan perguruan tinggi akan makin kuat. Tidak perlu disuruh-suruh untuk pergi ke perpustakaan, mereka akan sukarela datang ke perpustakaan karena mereka tahu dan mengerti informasi tersebut di perpustakaan telah tersedia.

Alhasil, mahasiswa generasi millenial seperti Fadilla tadi akan semakin mudah dan terlayani dengan baik oleh layanan perpustakaan. Apakah perpustakaan perguruan tinggi akan mampu melakukannya? Kita lihat saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline