Lihat ke Halaman Asli

Web 2.0 dan Information Society

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan internet tidak hanya mengubah struktur bisnis menjadi online namun lebih dari itu mengubah atas apa yang kita lihat dan rasakan di dunia www (world wide web). Dale Dougherty yang menemukan istilah web 2.o dan kemudian dipopulerkan oleh Tim O’ Reiley pada akhir 2005 dan menyebutnya sebagai ‘parsipatory web’. Dibandingkan dengan web 1.0 yang hanya memungkinkan internet sebagai sumber informasi semata, pada web 2.0 internet menyediakan fungsi bagi pengguna melakukan partisipasi aktif dan mengisi content. Dari sinilah kemudian muncul beragam situs web 2.0seperti MySpace, LinkedIn, Facebook, dan Twitter yang menyediakan berbagai aplikasi untuk pengguna mengatur profil individu, membuat jejaring virtual dengan teman atau partner bisnis, membagi artikel, foto, video, menciptakan content seperti cerita ataupun blog, dan berbagi opini sekaligus melakukan polling. Hasilnya adalah naiknya kolaborasi, interaksi, dan personalisasi.

Menurut Romi Satriawahono, Web 2.0  adalah tren yang digunakan pada teknologi wwwdan web desain yang bertujuan untuk memfasilitasi kreativitas dalam sebuah komunitas berbasis web: sharing informasi, sindikasi informasi, dan kolaborasi atau diskusi antar pengguna. Karakteristik utama dari Web 2.0 adalah user-generated content, artinya layanan yang penggunanya dapat ikut serta dalam mengisi kontennya. Perlu dicatat bahwa sebagian besar pengelolaan konten di Internet menuju ke Web 2.0. Layanan seperti ini dapat dibangun sendiri dengan memanfaatkan Content Management System (CMS) opensource diantaranya adalahblog: Wordpress.org, blogspot.com, wiki: Dokuwiki, Mediawiki, pmWiki, dan sebagainya.

Dengan kekuatan kolaboratif antar pengguna seperti itu, tak berlebihan bila kemudian situs web 2.0 menjadi media baru yang efektif untuk menggalang berbagai hal. Salah satu yang menonjol adalah penggunaan situs jejaring sosial oleh kandidat presiden Amerika Serikat Barrack Obama. Waktu itu, Obama berhasil mengumpulkan dukungan hingga ratusan ribu orang dari account Facebook saja. Bahkan karena efektifnya, Obama masih tetap memelihara account di Facebook ketika ia sudah menjabat sebagai presiden Amerika Serikat. Menurut catatan Kompas, hingga hari ini 2,7 juta orang menjadi teman Obama di Facebook dan 1,5 juta orang menjadi pengikut di Twitter. Di belahan dunia lain, gagasan revolusi lewat Twitter sempat terjadi di Iran ketika ribuan demonstran yang menentang kepemimpinan presiden Ahmadinejad. Meskipun, kemudian ini bisa diredam dengan mematikan akses internet terutama ke jaringan Twitter dan Facebook di Iran. Kekuatan situs jejaring sosial dalam pandangan Bauman malah menempatkan banyak orang pada bahaya ketimbang apa yang sesungguhnya terjadi.

Ide dasar web 2.0 yang memungkinkan pengguna situs menggalang dukungan untuk berbagai hal, dibuktikan oleh Obama atau aktivis di Iran, juga berimbas di Indonesia. Dukungan pengguna Facebook saat kasus yang menimpa Prita Mulyasari yang dituduh mencemarkan nama baik sebuah rumah sakit internasional akibat keluhannya tersebar di internet. Yang paling mutakhir adalah dukungan pengguna Facebookdalam kisruh KPK – Polri. Dalam waktu 9 hari setelah penggalangan tersebut, dukungan pembebasan Bibit-Chandra menembus angka satu juta orang. Kemampuan situs seperti Facebook mengumpulkan dukungan (vote) membuat demokrasi langsung berubah menjadi satu klik saja di layar. Orang tak perlu repot menunjukkan dukungannya terhadap isu tertentu karena ketika seseorang membuka situs berbasis 2.0 ia bisa langsung memberikan dukungan dengan sekali klik.

Dalam pengamatan Allison Fine, jejaring sosial dan komunitas virtual berbasis web 2.0 lahir karena munculnya generasi baru yang disebut millenials. Generasi ini memiliki ciri gairah tinggi pada persoalan sosial, meluap-luap dengan pendekatan baru, berkeinginan kuat melakukan perubahan, menggunakan peralatan digital, dan meyakini kekuatan dari masyarakat. Allison menyebutnya sebagai social citizen (warga negara sosial) yang menggambarkan era partisipasi warga negara yang mengkombinasikan idealisme dan kefasihan digital (digital fluency). Pandangan serupa muncul dari Shirley Duglin Kennedy. Ia menyebut social media seperti –Facebook, MySpace, atau Twitter- memang digunakan oleh mayoritas pengguna usia muda.

Berkaitan dengan perkembangan teknologi informasi, definisi masyarakat informasi yang digambarkan oleh William J. Martin sangat beragam digunakan, ia menawarkan pendekatan masyarakat informasi sebagai :

...a society in which the quality of life, as well as prospect for social change and economic development, depend increasingly upon information and its exploitation. In such a society, living standards, patterns of works and leisure, the education system and the marketplace are all influenced markedly by advances in information and knowledge. This is evidence by an increasing array of information-intensive products and services, communicated through a wide range of media, many of them electronic in nature

Konsep di atas menunjukkan bahwa masyarakat informasi adalah masyarakat terdidik yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan pengetahuan dan informasi, terutama yang dikomunikasikan lewat beragamnya media terutama media elektronik. Dalam perkembangannya, William J. Martin meminjam konsep information age (era informasi) dari Halal yang mengatakan bahwa karakter era ini adalah cair dan jejaring informasi sosial dinamis yang mengglobal.

Dari konsep web 2.0 sebagai perkembangan teknologi informasi dan konsep masyarakat informasi, hubungan antara dunia internet dan kenyataan riil di masyarakat telah menjadi perhatian banyak pemikir. Menurut Howard Rheingold ada hubungan yang kuat antara perbincangan informal, dalam bentuk kelompokmasyarakat yang riil maupun virtual, di kedai kopi dan ruangan mengobrol di komputer (chat rooms). Kemampuan grup sosial tersebut memiliki ciri mampu mengatur dirinya sendiri tanpa ada pemerintahan monarki atau diktator. Ide hubungan pembagian peran di dalam grup sosial tersebut adalah sebuah metafora ide dari cyberspace dan sering disebut banyak orang sebagai public sphere. Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh pemikir kritis dari Frankfurt School Jerman, Jurgen Habermas. Meminjam public sphere sebagai tempat bagi orang ataupun pemikiran di internet yang interaktif, social media seperti Facebook, Twitter atau MySpace adalah public sphere tempat bertemunya ide atau gagasan dari banyak orang.

Tetapi, tambah Rheingold, ketika orang sangat terpengaruh kehidupannya oleh jaringan komputer dan mampu menyebarkan ide demokratis dalam cara yang luar biasa, tapi bila tidak diimbangi dengan kerja keras di tataran riil yakni sebagai kekuatan demokrasi, ini akan berbahaya terutama adalah komodifikasi (menjadikan semua hal komoditas atau harus bisa dijual). Alasannya, ide yang murni dan tulus bisa dibayar untuk kepentingan tertentu, lalu keinginan besar bagi para pengguna internet disalahgunakan untuk kepentingan komersial. Karena itu, antusiasme pengguna internet berhadapan dengan resiko tidak dibayar, tetapi di sisi lain para pemasang iklan mendapatkan keuntungan finansial dari penggunaan teknologi tersebut. Dalam konteks upaya dukungan para pengunjung Facebook di atas, sadar atau tidak, para pemasang iklan di Facebook akan mendapat keuntungan dari banyaknya orang yang mengakses situs tersebut. Belum lagi pengelola Facebook juga akan mendapatkan keuntungan finansial dengan keberadaan situsnya yang dikunjungi jutaan orang dalam waktu singkat.

Dalam bentuk yang lebih kecil hubungan antara internet dengan masyarakat telah terjalin lama. Menurut Naisbitt (1997) hubungan antara kemajuan internet dan masyarakat memang tidak bisa dipisahkan. Ia menggambarkan komunitas Celebration di dekat Disney World Orlando Amerika Serikat. Di tempat tersebut hampir semua pemukim memiliki akses internet yang memungkinkan antar warganya membuat kelompok diskusi lewat internet dan intranet berbentuk board bulletin system serta email lokal. Bahkan, pertemuan warga kota diadakan secara elektronik, komentar dan usulan dikirimkan lewat email oleh ‘mereka’ yang hadir dalam ajang rapat elektronik tersebut.

Perkembangan teknologi –baik di dunia internet dengan beragam istilah seperti web 2.0- memang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan masyarakat itu sendiri. Seperti diungkapkan oleh Frank Webster, perkembangan teknologi yang terjadi di dalam masyarakat mempengaruhi keberadaan dari masyarakat informasi (information society). Menurutnya, ada lima perbedaan definisi mendasar dari masyarakat informasi ditinjau dari lima hal yakni teknologi, ekonomi, jabatan, spasial, dan budaya. Dalam konteks teknologi, perkembangan internet yang pesat dengan kemampuannya menyukseskan ekonomi, pendidikan, dan demokrasi menjadi salah satu dasar pemikiran dalam pengembangan teori informasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline