Lihat ke Halaman Asli

Ketika Cacat Kusta Turun ke Jalan

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Kusta, sebagian besar masyarakat menganggapnya sebagai kutukan dari tuhan. Penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterym leprae ini mengakibatkan Indonesia menempati posisi ketiga penderita kusta terbanyak di dunia. Meski menempati urutan 3, penanggulangan penyakit kusta di Indonesia senantiasa gencar dilakukan hingga ke pelosok-pelosok daerah. Pengobatan yang diberikan pun digratiskan oleh pemerintah pada seluruh penderita. Pengobatan ini dilakukan rutin tergantung dari tipe penyakit kusta yang menjangkiti pasien dan dimonitor oleh pekerja-pekerja medis di lapangan. Sudah banyak penderita kusta yang dinyatakan sembuh dan bersih dari bakteri penyebab penyakit ini. Mantan penderita kusta ini sudah diperbolehkan berbaur dengan masyarakat lain karena sudah diyakini tidak akan menularkan penyakit ini lagi pada siapapun.

Ketika telah sembuh, sebagian besar mantan penderita kusta mengalami cacat fisik khususnya pada anggota gerak akibat dari penyakit yang menyerang tubuhnya dahulu. Cacat ini menjadi penanda bahwa orang tersebut pernah menderita kusta sehingga dapat dikatakan bahwa penyakit kusta masih melekat erat pada orang tersebut meski sebenarnya ia telah terbebas dari bakteri penyebab kusta dan telah dinyatakan ‘bersih’ berdasarkan uji laboratorium.

Hal inilah yang berkembang di masyarakat sehingga mantan penderita kusta yang mengalami cacat fisik terkadang dikucilkan dan dianggap tidak bisa lagi melakukan pekerjaan apapun. Bahkan keluarga penderita kusta sendiri, karena telah terbiasa mengisolasi mantan penderita kusta sewaktu ia masih terjangkit penyakit kusta, sampai penderita bersih dari penyakit ini pun, pihak keluarga masih tetap ‘mengisolasi’nya dengan anggapan bahwa penderita tidak bisa lagi melakukan apa-apa dan senantiasa mebutuhkan bantuan pihak lain. Pihak keluarga terkadang menganggapnya sebagai aib terlebih jika dalam satu keluarga terdapat beberapa orang mantan penderita kusta dikarenakan sewaktu penyakit dari salah satu mantan penderita kusta ini belum terdeteksi, ia sudah terlanjur menularkannya pada beberapa anggota keluarga lainnya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa mantan penderita kusta yang mengalami cacat fisik akan mengalami depresi dan kesulitan dalam mengerjakan sesuatu karena cacat fisik adalah hal yang tak pernah dialami sebelumnya. Dan ketika ia berusaha untuk membiasakan diri dengan kondisinya sekarang, orang-orang disekitarnya senantiasa beranggapan bahwa ia tidak bisa melakukannya sehingga terpatri lah dibenaknya bahwa ia tidak bisa.

Tetapi jika ditelusuri lebih lanjut, terdapat tempat rehabilitasi bagi para mantan penderita kusta yang mengalami cacat fisik. Di Makassar sendiri terdapat pusat pelatihan diri bagi para mantan penderita kusta di Bongaya. Di pusat rehabilitasi mereka diajari untuk terbiasa berusaha dengan kemampuan mereka yang terbatas. Akan tetapi fasilitas yang diberikan oleh pemerintah ini tidak dimanfaatkan sebaik mungkin oleh mantan penderita. Kebanyakan dari mereka lebih memilih turun ke jalan dan menadahkan tangan meminta selembar rupiah dari tangan para dermawan.

Hal tersebut sudah menjadi pemandangan yang lumrah di kota-kota besar seperti Makassar. Hampir disetiap titik keramaian terdapat para pengemis yang duduk diatas alat bantu berjalan yang dibuat secara manual dengan teknik seadanya. Yang harus dilihat dengan seksama disini adalah mengapa para mantan penderita kusta ini lebih memilih turun ke jalan dan meminta-minta? Padahal mereka memiliki keluarga dan telah ada pusat rehabilitasi yang dengan tangan terbuka menerima mereka untuk dibina menjadi manusia yang lebih bermanfaat dibanding sekedar memngemis belas kasih pengguna jalan yang melintas.

Ya, pendapatan yang menggiurkan lah yang berhasil menarik para mantan penderita kusta yang mengalami cacat fisik ini untuk turun ke jalan. Perhitungan kasarnya, jika seorang mantan penderita kusta yang cacat fisik berdiam disatu tempat selama sehari, tiap 5 menit mereka menerima minimal Rp.1000,- maka dalam sehari mereka bisa membawa pulang sekitar Rp.144.000,- per harinya. Dalam sebulan pendapatan ini bisa menyamai pendapat pegawai negeri golongan III.

Inilah sebenarnya yang menjadi masalah di negeri kita. Pengucilan yang dilakukan terhadap para mantan penderita kusta membuat mereka memilih menafkahi dirinya dengan cara praktis dibanding harus bersusah payah melakukan pekerjaan yang mengharuskan mereka bersosialisasi dengan masyarakat umum.

Dan setiap harinya berdasarkan pengamatan pribadi dari penulis, sebagian besar pengemis yang memanfaatkan kecacatannya untuk meminta belas kasih ini menggunakan jasa ojek untuk mengantarkannya ke tempat ‘mangkal’nya. Adalah sebuah ironi ketika para penderita cacat kusta ini mampu menggunakan jasa ojek untuk mengemis tapi tidak mampu ke tempat rehabilitasi atau melakukan usaha lainnya.

Sebagai seorang farmasis, terkadang kita menempatkan diri dalam permasalahan ini hanya sebatas pada penyediaan obat untuk penderita kusta sampai mereka dinyatakan sembuh. Akan tetapi yang harus disadari, penyakit kusta tidak seperti penyakit lainnya yang ketika sembuh maka permasalahan selesai. Ketika sembuh, penderita kusta akan menghadapi lebih banyak tantangan. Disinilah peran farmasis, pemahaman pada penderita kusta mengenai apa yang akan mereka hadapi kedepannya harus diberikan lebih dini. Agar ketika masa itu datang, mereka tidak lagi kebingungan dan mengambil jalan pintas dengan mengemis di jalanan.

Ada baiknya jika sediaan-sediaan obat untuk penderita kusta yang selama ini dikemas dengan polos, dijadikan lebih berwarna dengan kalimat-kalimat pemberi motivasi untuk para penderita kusta agar tetap semangat dan berusaha. Penderita kusta yang kemungkinan besar akan mengalami cacat fisik harus diberikan pemahaman bahwa pada dasarnya manusia adalah sama. Sama-sama bisa berkarya dalam kemandiriannya. Meski dengan raga yang tidak utuh, seorang manusia akan tetap memilki jiwa yang utuh dengan berkarya dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi sekitarnya. Dan untuk bisa berkarya dibutuhkan kerja keras dan tekad yang kuat.

Bukan hanya untuk penderita, pemahaman juga harus diberikan pada masyarakat bahwa mantan penderita kusta tidak akan lagi menularkan bakteri penyebab kusta sehingga tidak perlu dikucilkan. Melainkan mereka harus diberi dorongan agar tetap semangat sehingga bisa menghasilkan karya yang bermanfaat. Karya mereka layak diterima ditengah-tengah masyarakat karena tidak menutup kemungkinan seorang penderita cacat kusta bisa menghasilkan karya yang luar biasa. Tinggal bagaimana cara kita meyakinkan mereka bahwa karya mereka akan diterima dengan baik sehingga mereka terus termotivasi untuk berkarya dan bekerja.

Selain itu, seharusnya pemerintah menyediakan lebih banyak tempat pelatihan dan rehabilitasi bagi penderita cacat kusta, agar dalam satu kota tidak hanya terpusat pada satu tempat saja, sehingga para penderita cacat kusta bisa dengan mudah menjangkau tepat pelatihan atau rehabilitasi tersebut. Dengan diberdayakannya para penderita cacat kusta ini, bisa turut mengurangi jumlah pengemis di Indonesia.

Referensi: www.penyakitkusta.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline