Lihat ke Halaman Asli

Sintaku (Dua)

Diperbarui: 20 Oktober 2015   17:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

 

Sinta Ibuk-ku,

Maaf Sinta kalimat pertamaku agak aneh, maksudku bukan apa-apa Sinta, aku hanya mengungkapkan ge-eranku. Heuheuheu

Begini jelasnya, bagaimanapun aku banyak belajar darimu, tanggung-jawab dan kejujuran, dua hal yang paling banyak aku pelajari dari dirimu, kau juga sama seperti ma’e-ku yang selalu mengingatkan ku untuk berbuat baik, mengajariku, menasehatiku ketika aku tidak berjalan pada jalan yang tepat. Sebenernya yang paling ku harapkan adalah kelak kamu kan menjadi ibu dari anak-anakku.

Sintaku,

      Sepertinya harus ku sudahi hayalan-hayalanku tentang panggilan ibuk untukmu, mungkin bisa saja tetap ku panggil kamu Ibuk, tetapi, bukan dalam posisi Ibuk yang ku harapkan, bagaimanapun kamu kan Ibuk pejabat di Negeri Para Bedebah, tak salah dong kalo aku memanggilku Ibuk, tapi seperti ada keris yang merengsek masuk kedalam hatiku, Makclekiit, terasa, seperti tidak ikhlas.

Entah kenapa Sinta hatiku selalu merasa seperti itu, jika kamu enggan ku panggil Ibuk, alasanmu, tua kali aku kamu panggil seperti itu, aku masih muda. Pikiranku pasti langsung melayang jauh kedepan, kamu pasti tak ingin hidup denganku.! Pantas saja kalau aku merasa harapan tentang khayalan-khalanku terhadapmu akan hilang. Seperti menghilangnya dirimu sekarang.

Suratku yang pertama tak kunjung kamu balas, mungkin kau lebih memilih membaca dokumen-dokumen penting Negerimu, lantas suratku kau acuhkan. Tak mengapa Sinta, lagian sampai sekarang aku belum menemukan orang yang akan mengartikan surat-suratmu.

Harus ku-akui Sinta, aku terus merindukanmu, merindukan sapaan pagimu, yang membangunkan semangat bangunku, ucapan tidurmu, yang melelapkan tidurku, nasihat-nasihatmu yang selalu aku bantah lalu berdebat sampai tengah malam. Aku juga rindu memetik senar-senar gitarku yang kamu selalu berakting sedang menikmati petikan gitarku padahal kamu sedang membayangkan alunan musik aslinya. Kenapa kamu tidak menegurku bahwa permainanku jelek ?

Mungkin karena aku pernah cerita, aku pernah ditinggal penonton pada petikan pertamaku, mungkin kamu kasian melihat aku yang pernah ditinggalkan pada permainan pertamaku, atau memang kamu……

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline