Sudah hampir mati persendian kaki-kaki ku melangkah menelusuri daratan permasalahan tak berujung negeri ini, negeri para bedebah kata sahabat ku, Negeri cermin surga kata orang-orang luar sana, negeri pusat peradaban dunia kata para budayawan yang mencoba membesarkan hati saudara segaris keturunan nenek moyang nya yang selalu di merasa terkucil di negeri sendiri.
***
Cerah sekali siang ini, tak seperti biasanya. “Hah, dimana aku ini?” sadarku.
Orang-orang memandangi ku aneh, seperti orang asing bagi mereka, tetapi aku merasa kehangatan dihatiku saat ku tatap mata mereka satu persatu. Aku terpaku kebingungan, ingin berlari tapi hatiku menahan.
“Sungguh indah negeri ini, bangunan-bangunan megah berdiri kokoh seakan berlomba menggapai langit, tampak dari kendaraan mereka, teknologi begitu maju disini, negeri apa ini?” batinku.
“Ini Negeri Awan namanya nak!” seseorang berkata dari belakangku.
Aku terkejut, ku toleh ke belakang, ku pandangi orang tadi dari ujung rambut sampai bawah kaki nya, pakaian nya begitu aneh, baju langsungan seperti daster warna abu-abu, kaki nya terbalut sandal berikat belakang. Ia tersenyum melihatku.
“jangan takut nak, bapak bagian dari kamu juga.”
“Bapak siapa ?” Tanyaku
“Saya Gio, ayo ikut saya !”
Aku mengangguk, dan mengikuti nya berjalan. Aku masih bingung dengan apa yang semua terjadi, tapi hati ku yakin dengan bapak tua yang menuntun ku ini.
“Nama kamu siapa nak ?” Tanya bapak itu sambil terus menuntunku.
“saya Dwy pak, Dwy Susanto”
“Baik lah, setelah kita sampai saya akan ceritakan semua tentang negeri ini.”
“Kita mau kemana pak ?” Tanya ku penasaran.
“Nanti kamu bakal tahu, ikuti saja saya!” Dia tak menjawab rasa penasaranku.
Kami menumpang kendaran yang super aneh dan asing bagi ku, kendaraan nya seperti bajaj, bentuk nya kecil hanya muat tiga orang, dua penumpang dan satu supir di depan, namun bukan seperti bajaj di Jakarta yang ku lihat di televisi. Ini sangat berbeda, bajaj disini terbang , ya terbang, setiap tarikan gas nya seperti menghenduskan uap yang membuat melayang melawan grafitasi. Aneh sekali.
Di sela-sela bangunan-bangunan megah kami melaju gesit, sesekali dibawah perutku serasa sedikit nyeri mak serr karna jalur jalannya tiba-tiba turun drastis untuk melewati jembatan penghubung antar bangunan. Kendaraan bajaj itu terus melaju hingga Kami tiba di sebuah pegunungan hijau, tak tahu aku dimana ini, yang ku dengar pak Gio mengucapkan kata “Lakas pak” ke supir bajaj aneh tadi.
“Kita sampai, santai saja,” Ucap nya.
“he’uh,” Aku mengangguk.
Tanpa basa-basi pak Gio mulai bercerita.
“Pengunungan ini lah awal dari semua cerita negeri ini, negeri yang memisahkan diri dari saudara-saudara segaris nenek moyang nya. Pengunungan Lakas ini saksi bisu nya.”
Aku diam mengangguk angguk saja, karena memang pikiran ku masih bingung dengan semua yang terjadi ini.
“Kita bersaudara Nak!” Pak Gio melanjutkan cerita. “kala itu Raja yang sangat kami cintai dan kami sayangi meninggal dunia, semenjak Raja Bijaksana itu meninggal keadaan Negeri itu menjadi kacau, huru-hara dimana-mana, rakyat saling fitnah, para penguasa berebut kekuasaan, rakyat mulai kelaparan, satu per satu dari mereka mati kelaparan. Sekelompok dari kami memilih untuk pergi dan memisahkan diri dari negeri itu, negeri itu adalah negeri kalian sekarang nak!”
Aku terkejut “bagaimana bapak bisa yakin bahwa saya berasal dari negeri itu?” Tanyaku.
“hahaha, saat pertama kali bapak melihat mu di keramaian tadi, bapak sudah tahu bahwa kau berasal dari negeri itu, Indonesia namanya sekarang, jelas tergambar di kepalamu kamu berasal dari Negeri itu, dan bapak yakin orang-orang yang melihat mu dengan aneh tadi juga tahu kalau kamu berasal dari mana, mereka hanya terkejut bagaimana kamu bisa datang kemari.”
“Canggih betul orang-orang disini,”pikir ku.
“Mari ke rumah bapak, akan bapak kenal kan dengan anak bapak, dia nanti akan mengajak mu keliling-keliling.” Ajak nya.
“Heuh,” aku hanya mengangguk, aku merasa malu dengan apa yang di lakukan orang-orang di negeri ku dulu.
Kami menumpang kendaraan aneh itu lagi.
“Ini namanya MoPau, ini adalah kendaraan untuk menuju ke pelosok-pelosok negeri ini, yang memang nggak bisa di jangkau oleh MaCros, dan semua nya gratis, kita tinggal naik, sebutkan tempat tujuan dan turun, tanpa membayar sedikitpun.”
“wow gratis pak ?”
“Iya gratis,” Pak Gio menegaskan kembali.
“ouuh, kalo MaCros itu apa pak ?”.
“oiya, MaCros itu sejenis kereta cepat, semacam kereta api, seperti nya di negeri kamu belum ada.”
“Loh kok tahu kereta api pak?”
“hahaha.” Pak Gio hanya tertawa kecil.
***
Kami sampai di rumah nya, rumah Pak Gio seperti di komplek-komplek perumahan di Indonesia pada umum nya, hanya saja dalam segi bangunan komplek rumah di Indonesia sangat kalah jauh bagus nya di banding disini. Bentuk nya aneh, tapi tak menghilangkan kesan megah, perpaduan budaya setempat dan sedikit sentuhan corak kebaratan, disain yang sempurna menurutku.
“Kita sampai nak, mari kita masuk.” Pak Gio berdiri tegak di depan pintu gerbang, dan tiba-tiba Greeek pintu gerbang terbuka.
“Pintu gerbang ini akan terbuka jika sensor mengenali orang yang ingin masuk,” Tambahnya.
“Loh, bukan kah negeri ini makmur, rakyat nya saja di di fasilitasi secara lengkap, apa mungkin orang-orang disini masih ada yang berprofesi sebagai maling dan perampok?” Tanyaku keheranan.
“Maling itu juga bagian dari siklus kehidupan, jika tak ada orang jahat lalu apa gunanya tuhan menurunkan kitab-kitab Nya melalaui nabi-nabi Nya, inti nya semua yang ada di dunia ini di ciptakan berpasang-pasangan, ada laki-laki ada perempuan, ada siang ada malam, dan ada yang baik dan ada pula yang buruk”.
“?%$@>?..” sungguh aneh pikir ku.
“Assalamualaikum, Ria Bapak pulang.”
“Aduuh apa lagi ini, kok Assalamualaikum, beragamakah orang-orang disini?” Batinku.
“Walaikum salam.” Tampak seorang gadis seumuran dengan ku berjalan keluar dan mencium tangan pak Gio. Dan di melempar senyum pada ku.
Naluri lelaki ku muncul. senyumannya jleep, masuk ke dasar hati, membuat nya bergetar. Pakaian nya sopan sekali, padahal hanya di rumah, berbeda dengan di Negeriku Indonesia, mereka siap meninggalkan jilbab dan pakaian tertutupnya jika sudah di dalam rumah, dan tidak merasa risih jika ada tamu yang datang. Ria memang berbeda dengan gadis-gadis di Indonesia. Jilbab nya juga tak sekedar membalut, tetapi benar-benar menutup aurat, pakaian nya juga sopan tak ada benjolan depan belakang kiri dan kanan. Aku yakin jika Ria ke Indonesia, lelaki yang berprofesi sebagai maling plus perampok plus pengedar narkoba plus penjudi ulung pun siap tobat demi mendapat kan gadis ini.
“Heh! kok malah ngalamun, ini kenalin anak bapak,” Pak Gio mebuyarkan lamunanku.
“Ria,” Kata gadis itu, sambil mengulurkan tangan nya.
“Dwy,” Jawabku, menjabat tangan nya. “Loh, kok malah jabatan tangan.” Aku keceplosan karena tak biasa berjabat tangan dengan gadis-gadis Indonesia yang berpakaian seperti Ria.
“Hehehe, tidak apa-apa, Ria yakin Tuhan mengerti niat kita yang sebenarnya, dan tuhan pasti tahu jabatan tangan tadi itu bukan lah karena nafsu tetapi untuk menyambung silaturahmi.”
“ini yang ku cari,” Batin ku.
***
Sudah puas rasanya di jamu dirumah ini, semua makanan istimewa di hidangkan di meja makan sewaktu makan malam tadi. Tak banyak berbeda makanan disini dengan di Indonesia hampir-hampir sama. Kamar ku juga sudah di siapkan untuk malam ini. seperti tidur di hotel bintang lima rasanya segala fasilitas ada di kamar ini. Yang membuat ku terkejut adalah saat melihat saluran-saluran televisi, ternyata disini kita dapat melihat saluran-saluran Indonesia. Pantas saja pak Gio banyak tahu tentang Indonesia. Semua ini membuat aku jadi bingung, sedang dimana sebenar nya aku ini.
***
Semburat cahaya matahari mulai memenuhi ruangan kamar ini, ternyata gorden nya terbuka otomatis jika pagi tiba. Aku bersiap, mandi dan memakai baju yang sudah disiapkan. Lalu turun kebawah, memang kamar nya terletak di lantai dua.
“Ayo nak kita sarapan!” Sambut pak Gio
“Mari pak,” Aku mulai menjaga gaya bicaraku, terlalu baik rasanya keluarga ini kepada orang yang baru mereka kenal seperti aku.
Kami menuju meja makan, makanan terhidang rapi, kami sarapan sambil bincang bincang santai.
“Apa orang-orang disini beragama juga pak?” tanyaku.
“Ya tentu saja Bergama Wy,” Ria memotong “disini sama saja dengan di Negeri mu, ada Islam, Ada Kristen, Hindu juga Budha, dan ada beberapa dari mereka tidak mengakui ada nya tuhan, dan ada juga malah yang menuhankan cinta.”
“Tetapi yang perlu diingat nak , disini tak ada perang antar agama, mereka hidup rukun disini dengan keyakinan mereka masing-masing.” Pak Gio menambahi.
“Waduh aku menanyakan pertanyaan yang salah kayak nya ni, tapi ini memang hal yang wajib aku ketahui,” bantinku.
“Menuhankan cinta ?. Maksud nya gimana itu Ria?”
“Ya menuhankan cinta, jadi mereka hidup bebas dengan cinta, mereka percaya tuhan, tetapi mereka menuhankan cinta mereka.”
“ouh, yaya aku ngerti!”
“Bagus kalau kamu ngerti.” Sahut Ria, sambil menuangkan air putih ke gelasku untuk kedua kalinya.
***
Sesuai rencana aku diajak keliling-keliling oleh Ria, daerah yang bakal aku kunjungi adalah Kutilen, kota Kutilen adalah kota terbesar di negeri ini, jika di Indonesia, Kutilen ini lah Jakarta-nya. Kebetulan aku terdampar nya di Kutilen dan bertemu dengan Pak Gio.
Sepanjang jalan Ria banyak bercerita tentang Negeri dan Kota ini, banyak sekali perbedaan disini dengan di Indonesia, Ria bercerita tentang orang-orang miskin di kota ini tinggal nya di rumah susun, yang menurut ku itu bukan rumah susun, rumah yang menjulang tinggi seperti Apartemen mewah di Jakarta. Tentang perbedaan Agama yang sangat harmonis, tak pernah bermusuhan, semua hidup rukun dengan keimanan masing-masing. Tentang Ibu mereka, Ibu memang sebutannya, adalah orang yang paling mereka hormati disini, Ibu lah yang membuat Negeri ini dahulu nya, tetapi dia bukan kepala negara yang mengatur pemerintahan, Ria saja susah menjelaskan nya padaku, yang jelas dia hanya mengucapkan, dia biasa di panggil Ibu.
Langkah ku terhenti di depan sebuah gedung tinggi berlambang bunga mawar merah.
“Berhenti dulu” Pintaku.
“ada apa ?”. Pandangan Ria terus menunduk.
“ini kan! Rumah ibadah orang-orang yang menuhankan cinta mereka?”
“sudahlah, mari pergi dari sini.!”
“hahahaha.” Aku tertawa, mengejar Ria yang berjalan lebih dulu.
Ria juga bercerita, tentang para pejabat pemerintah Negeri Awan ini, yang selalu memperhatikan keadaan rakyatnya. Semua fasilitas umum selalu tersedia gratis, jika rusak maka akan segera diganti yang baru. Pendidikan juga tak ada perbedaan disini, baik yang pintar dan yang bodoh, tetap berada di satu atap yang sama, bahu-membahu membangun perkembangan otak mereka, dan semua di biayai negara mereka, mereka tak membayar sedikit pun, begitu pula dengan pelayanan kesehatan, semua serba gratis disini, tak peduli siapa yang sakit, kaya atau pun miskin, keselamatan nyawa mereka lah yang mereka utamakan disini. Para anak yatim di pelihara oleh negara, tanpa membedakan dari golongan mana mereka berasal, semua disamakan, yang mereka tahu mereka berasal dari nenek moyang yang sama, dan mereka sama-sama ciptaan dari Sang Pencipta.
Betapa senang nya hati orang-orang yang tinggal disini. Bahkan mereka menghargai para pencuri sebagai bagian dari hidup mereka, bukan orang yang hina bagi mereka.
***
Tiba-tiba cahaya terang menyilaukan bersinar tepat di hadapan ku, cahaya itu seakan terus menyedot ku, seakan mengusir ku dari negeri indah ini.
“Ria, tolong aku Ria!” Teriakku. Ria hanya berdiri tersenyum dan melambaikan tangannya tanpa melakukan apa-apa, sementara cahaya ini terus menyedot ku.
“Riaaaaaaaaaaaaaa!” Teriakku lagi. Lagi-lagi dia hanya tersenyum, dan berpaling dariku, dan melangkah pergi.
Tiba-tiba aku terbangun dari tidurku, ku lihat bantalku, air liurku sudah membentuk pulau-pulau kecil yang tak mungkin dapat ku lukis ulang gambar pulau-pulau itu.
Lalu aku sadar, Negeri Awan hanyalah, Negeri yang terbentuk ketika air liur bercucuran tanpa sadar diatas baringan ranjang empuk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H