Sudah 69 tahun Indonesia merdeka sejak Rumah Indonesia di bangun tanggal 17 Agustus 1945. Banyak
problematika bermunculan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jatuh bangun bangsa ini tak pernah
berhenti sepanjang bumi terus berputar. Kehidupan bangsa Indonesia menjadi tolak ukur terpenting untuk
dijadikan cermin kemajuan bangsa. Meski kemelaratan dan kemiskinan bangsa juga terus melonjak tinggi.
Saat bangsa lain berlomba mengejar batas estafet kemajuan dengan segala cita-citanya, kita malah hanya bisa berjalan perlahan karena begitu banyak tantangan di depan mata. Jiwa-jiwa kita terkadang sulit untuk menerima segala permasalahan yang timbul. Kekecewaan atas kekacauan
bangsa dan negara Indonesia, sering kali membuat kita melupakan tujuan hidup. Semakin sulitnya mencari
nafkah, mengecap pendidikan setinggi-tingginya sampai rasa marah pada bangsa ini, menjadikan kita makhluk-makhluk pesimistis. Ketika sebahagian individu ingin bercermin dari kemajuan bangsa lain, lahir sikap-sikap antipati terhadap individu-individu tersebut. Kita tidak menyadari bahwa sebagai bangsa kita tidak bisa menghindar untuk berkontak
dengan bangsa lain. Lika-liku perjalanan sejarah bangsa sering terhenti oleh antipati terhadap bangsa lain yang mencoba menularkan
keberhasilan mereka pada kita.
Era globalisasi sudah semestinya dianggap sebagai tantangan hebat yang harus kita lalui. Globalisasi telah
memperlihatkan pada kita bahwa tidak ada lagi jurang pemisah antara negara kaya dengan negara miskin.
Kepemimpinan bangsa juga sudah seharusnya berubah menjadi senjata tajam yang siap menerima tantangan
demi tantangan. Apalagi di tahun 2015, pemerintah baru Indonesia sudah harus siap melaksanakan Era Pasar
Bebas Asia atau AFTA. Apa yang sedang dialami Indonesia sejak Pilpres kemarin bukan lantas membuat kita
hanya berdiam diri atas kemajuan zaman yang tak pernah berhenti. Berpijak pada kenyataan ini, mengapa kita
tidak mencoba untuk belajar dari sejarah. Telah banyak peristiwa sejarah yang berskala nasional terangkum
dalam kehidupan dan tertulis indah dalam buku-buku sejarah. Ketika anak didik di tingkat SD sampai SMA dituntut untuk belajar dari sejarah, mengapa para
pemimpin bangsa tidak siap belajar dari sejarah. Kedewasaan pemimpin bangsa adalah teladan bagi generasi
di bawahnya.
Dari mulai tahun 1945 sampai kini, permasalahan Indonesia hanya bersandar pada kemampuan pemimpin
dalam mengelolah Rumah Indonesia. Simaklah bagaimana pemimpin bangsa Indonesia terdahulu menyikapi
persoalan-persoalan berbangsa dan bernegara. Mulai dari era kepemimpinan Ir. Soekarno, jelas terlihat bagaimana Bung
Karno saling berangkulan untuk mempertahankan kedaulatan bangsa dari rongrongan dan kerakusan bangsa
penjajah. Belum lagi ancaman-ancaman dari dalam negeri bermunculan yang akhirnya melengkapi kesulitan para pemimpin terdahulu untuk
terus melangkah. Ketika Rumah Indonesia baru berdiri, kekosongan kas negara menjadi tantangan terberat bagi
Beliau-beliau. Bagaimana mungkin Indonesia mampu melangkah sedangkan jumlah rupiah hanya nol di kas negara.
Blokade ekonomi Belanda yang bertujuan melumpuhkan perjuangan rakyat Indonesia terus saja mengancam.
Kita harus terseok-seok menghampiri negara sahabat untuk bersedia mengakui kedaulatan Indonesia. Tak bisa dipungkiri banyak
dukungan atas kedaulatan Indonesia terus mengalir, sayangnya pengakuan tersebut berasal dari negara-negara miskin yang baru merdeka atau negara-negara lainnya yang masih berjuang merebut kemerdekaan. Namun semangat Nasionalisme bangsa Indonesia
sanggup mematahkan semua keadaan tersebut.
Para pemimpin bangsa tak pernah lelah berjuang mempertahankan kemerdekaan. Mungkin hal terberat
yang pernah dialami pada era awal kemerdekaan adalah ketika ideologi Pancasila digoncang oleh ideologi
lainnya. Pemberontak dalam negeri sejak tahun 1945 sampai 1965 menjadi pembuka mata bagi pelaku sejarah.
Pemberontakan DI/TII Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan
yang ingin mendirikan NII atau Negara Islam Indonesia merupakan awal keterkejutan para pemimpin bangsa kita.
Di saat mereka bersusah payah merebut kemerdekaan, di depan mata mereka muncul rongrongan dari saudara sendiri
yang ingin menghancurkan Ideologi Pancasila. Pemberontakan PKI 1945 oleh Tan Malaka (meski Tan Malaka tidak
bersedia melakukan Coup De’ta) namun tetap saja menorehkan luka di hati rakyat yang baru saja lega memperoleh
kemerdekaan. Pemberontakan PKI berlanjut pada tahun 1948 di bawah pimpinan Muso. Tujuannya tidak lain adalah
untuk merebut kekuasaan berdaulat Indonesia pimpinan Soekarno-Hatta serta menyuburkan paham komunis di hamparan tanah air Indonesia. Belum lagi pemberontakan-pemberontakan lainnya seperti RMS yang sampai sekarang tak berhenti menuntut kemerdekaan, kemudian
pemberontakan Westerling, PRRI/PERMESTA, pemberontakan APRA atau Angkatan Perang Ratu Adil dan
terakhir pemberontakan PKI 1965 yang meruntuhkan kepemimpinan Soekarno yang juga menghapus era kekuasaan
Bung Karno dari Orde Lama menjadi Orde Baru.
Ulasan di atas bukan ingin membuka luka lama bangsa Indonesia namun setidaknya peristiwa-peristiwa di atas wajib kita jadikan pembelajaran guna melihat seberapa besar kekuatan jiwa juang bangsa Indonesia
dalam menyelesaikan persoalan bangsanya. Apalagi kini, setelah pemberontakan tersebut satu persatu mampu kita
selesaikan, ternyata muncul rongrongan baru dari saudara-saudara kita dari ujung timur Indonesia yaitu pemberontakan Organisasi Indonesia Merdeka. Keberadaan OPM
yang terus menerus membuat makar di tanah Papua, telah mengganggu kenyamanan rakyat Papua yang sedang
bersusah payah mengejar ketertinggalan pembangunan dari daerah-daerah lain Indonesia. Kekayaan tanah Papua dianggap sebagai alasan mereka untuk mendirikan negara sendiri dengan
pertimbangan bahwa kekayaan mereka hanya dinikmati oleh segelintir rakyatnya sementara selebihnya bisa diraup
oleh mereka-mereka yang bertindak culas dan mementingkan perutnya sendiri.
Belum lagi kemerosotan nilai rupiah terhadap dolar semakin menjebak rakyat ke dalam penderitaan berkepanjangan.
Kemerosotan nilai tukar rupiah sungguh membuat pemerintah kalang kabut karena harus menutupi defisit APBN.
Menaikkan harga BBM guna menutupi defisit anggaran selalu dijadikan alasan untuk melemahkan kemampuan
daya beli masyarakat. Hutang luar negeri semakin membumbung dan hutang itu harus dibayar oleh setiap kepala
rakyat Indonesia bahkan oleh bayi-bayi yang baru lahir. Ironis bukan bila tangis bayi di Indonesia bukan dikarenakan mereka bergembira karena
memiliki kesempatan untuk menghirup udara kehidupan tapi seperti tangisan penyesalan karena terlahir di tanah air
Indonesia yang punya hutang melilit pinggang. Benar adanya bahwa hutang luar negeri Indonesia merupakan warisan
dari setiap kepemimpinan. Bung Karno mewariskan pada Soeharto. Soeharto mewariskan pada Habibie dan seterusnya.
Namun apakah semua ini menjadikan bangsa Indonesia semakin terperosok pada jurang kehancuran???? Jawabannya
hanya satu, belajarlah dari sejarah agar sejarah yang salah tidak berulang untuk kesekian kali.
Dulu Indonesia punya sekumpulan pemuda yang siap mati-matian membela kehormatan bangsanya. Masa penjajahan, hanya mereka yang berduit dan keturunan bangsawan
saja yang boleh mengecap pendidikan. Status yang mereka sandang bahkan tidak pernah melunturkan semangat
untuk menularkan semangat nasionalisme pada rakyat kelas bawah. Pendidikan yang mereka peroleh, sengaja
mereka transferkan kepada rakyat miskin hanya demi menyadarkan bahwa Indonesia sedang dijajah. Penjajah
asing sedang beriang-ria menikmati kekayaan nenek moyang bangsa Indonesia terutama Belanda. Negara kerajaan Belanda dulunya
hanyalah negara kecil di daratan benua Eropa yang paling miskin. Kemiskinan Belanda memicu mereka untuk
mencari dunia baru guna membangun negaranya. Sampai akhirnya mereka menemukan Indonesia. Beratus tahun
Belanda menguasai Indonesia lalu mengangkut seluruh kekayaan Indonesia hingga mereka menjadi bangsa yang
sejajar dengan bangsa elit imperialis Eropa lainnya.
Sikap rakus penjajah berhasil dihentikan para pejuang Indonesia serta mengusir mereka dari bumi ibu pertiwi.
Intelektualitas pemuda kaya Indonesia yang nasionalis sudah selayaknya jadi cermin bagi pemuda Indonesia sekarang.
Di masa penjajahan dulu, para cerdik pandai, dan pemuda kaya yang nasionalis dianggap teladan bagi kaum pemuda
miskin. Nasionalisme pemuda kaya tidak perlu diragukan lagi. Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir atau lainnya merupakan
contoh pemuda kaya berhati nasionalis. Status mereka dari kalangan berduit ternyata menjadi modal bagi mereka untuk
mengejar mimpi memerdekakan Indonesia. Bersekolah sampai negeri Belanda, lalu kembali ke Indonesia, mengajarkan
bagaimana cinta tanah air, terus bergejolak dan diwujudkan dalam bentuk perjuangan tanpa pamrih. Bisa dikatakan
bahwa orang kaya dulu lebih nasionalis dari orang kaya sekarang. Pemuda kaya dulu lebih memilih pulang ke tanah
air setelah menimba ilmu di negeri orang demi cita-cita kemerdekaan ketimbang harus menetap di negeri orang. Bagaimana dengan kita sekarang????
Mungkinkah terlalu berlebihan bila kita menuntut pemuda-pemuda cerdas kaum intelektual yang sedang menikmati enaknya hidup di negeri orang untuk kembali ke tanah air????
Saya pikir sudah saatnya bagi mereka untuk membangun bangsanya dimanapun berada. Bila kembali ke tanah air lebih
memudahkan untuk membangun bangsa, mengapa harus menetap di negeri oarang???? Apakah anggapan mereka bila
kembali ke Indonesia hanya akan mengurangi nilai dolar mereka, betapa kasihannya kita yang di Indonesia.
Pemerintah kita belum mampu memeratakan pendidikan di segala penjuru tanah air maka alangkah indahnya bila
mereka-mereka yang hebat di luar sana untuk mengetuk hati nuraninya guna kemajuan tanah air tercinta. Seperti semboyan
Marsipature Hutanabe...kembali ke kampung dan membangun kampu halamannya. Belajar dari sejarah.