Lihat ke Halaman Asli

Pelestarian Cagar Budaya Sebagai Implementasi Pengembangan di Kepulauan Riau

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagai salah satu daerah yang pada masanya pernah menjadi pusat tamadun Melayu yang penting di kawasan Selat Melaka, Kepulauan Riau memiliki warisan sejarah yang gemilang. Kegemilangan itumerupakan modal terpenting bagi masa kini dan masa yang akan datang. Lintasan sejarah Kepulauan Riau tak pernah hilang digerus oleh kemajuan modernisasi zaman terkini.

Jejak masa lampau masih lekat dalam tradisi kehidupan masyarakat Melayu Kepulauan Riau seiring dengan segala kebijakan pemerintah daerah untuk terus menjaga dan melestarikan warisan budaya Melayu sebagai perbedaharaan budaya nasional Indonesia. Kelekatan tradisi tersebut semakin terasa dan tercermin dalam balutan budaya bangsa yang menjadi pijakan di setiap kebijakan daerah yang menjadi unsur dasar kehidupan masyarakat di Kepulauan Riau.

Sejarah masa lampau Kepulauan Riau terlihat jelas pada jejak Kerajaan Riau-Lingga. Kerajaan Riau-Lingga berjaya pada era 1722 sampai 1913. Di periode ini, kerajaan Riau-Lingga mengalami kegemilangan sehingga berwujud pada simbol kebesaran di wilayah Melaka. Bahkan Kerajaan Riau-Lingga mampu menjadi sebuah kerajaan Melayu yang mewarisi kebesaran Melaka. Oleh karena itu, arti penting dan peranan kerajaan Riau-Lingga harus diangkat ke permukaan bukan hanya sebagai upaya menyelamatkan sejarah masa lampau namun lebih dari itu ianya amat berguna dalam upaya menanamkan kesadaran sejarah yang pada akhirnya memperkaya khasanahsejarah lokal di Kepulauan Riau.

Selama ini, pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah mulai dari tingkat dasar sampai sekolah menengah selalu mengambil contoh jejak sejarah yang umumnya terjadi di daerah lain seperti peristiwa sejarah lokal dari Jawa atau Bali yang memiliki keterikatan warisan sejarah.Padahal peristiwa masa lampau sejarah tidak terbatas pada satu lokasi atau satu daerah saja. Kurangnya ketertarikan kita untuk menulis ulang sejarah memberikan kesan Jawa centris atau Bali centris. Sementara penulisan sejarah ulang atau historiogarfi sejarah sudah bergeser ke wilayah lain untuk lebih mengembangkan sejarah lokaldaerah lainnya. Apalagi keinginan di setiap daerah untuk terus menggali dan mengekskavasi situs-situs sejarah diharapkan mampu melestarikan cagar budaya baik cagar budaya darat maupun cagar budaya air atau arkeologi darat dan arkeologi bawah air.

Benedetto Croce sejarawan Itali mengatakan bahwa ada suatu aporisma yang selalu dijadikan pijakan bagi penulis sejarah untuk membenarkan mengapa sejarah harus ditulis ulang kembali (the true history is contemporary history). Sejarah yang benar adalah sejarah masa kini yang disimpulkan bahwa setiap generasi berhak menulis dan menafsirkan sejarahnya sendiri sesuai dengan semangat dan jiwa zamannya. Tidak bisa dipungkiri, kerajaan Riau-Lingga banyak meninggalkan warisan budaya Melayu serta situs-situs sejarah Melayu. Hal ini bisa dilihat di beberapa cagar budaya di Propinsi Kepulauan Riau dan kita juga tidak bisa memungkiri ketika kita menyaksikan cagar-cagar budaya tersebut, ada ketakjuban yang luar biasa karena pada zamannya generasi masa lalu dengan sengaja membangun tradisi budaya dalam bentuk folklore atau benda budaya lainnya dengan harapan generasi masa kini turut menjadi saksi untuk melanjutkan pembangunan dan pelestarian warisan budaya yang telah mereka rangkai.

Pengertian cagar budaya dirumuskan secara konstusi pada UU No. 11 tahun 2010 pasal 1 dengan uraian sebagai berikut; Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Selanjutnyapada pasal 2; Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatanmanusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan sejarah perkembangan manusia. Sedangkan Sejarah Lokal merupakan satu atau lebih peristiwa-peristiwa masa lampau manusia yang terjadi di satu wilayah atau daerah.

Meskipun secara historis kerajaan Riau-Lingga telah dihapuskan oleh pemerintah Hindia Belandan pada tahun 1913 sebagaimana yang dimuat dalam stadblat. No. 19 namun warisan berupa benda bergerak dan tidak bergerak dari kerajaan ini masih bisa kita lihat dan rasakan. Bahkan salah satu budaya Melayu yang berbentuk Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji dijadikan salah satu karya sastra teragung di perjalanan sastra Indonesia. Runtuhnya istana kerajaan Riau-Lingga tidak menghilangkan jejak-jejak sejarah kerajaan tersebut. Pemerintah daerah Kepulauan Riau secara berkesinambungan berusaha menggali dan melestarikan warisan budaya lokal Melayu agar tidak memutuskan mata rantai atau Missing Link antara generasi masa lampau dengan generasi masa kini.

Apapun upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah adalah bagian dari keseriusan guna melakukan pelestarian budaya lokal, tetapi ada satu pertanyaan terselip di pemikiran kita apakah segala upaya ini sudah menghasilkan kerja nyata? Sebab dalam faktanya kita masih menemukan berbagai kenyataan adanya tindakan penelantaran atau membiarkan beberapa situs sejarah kerajaan Riau-Lingga. Terbengkalainya pelabuhan di kerajaan Riau-Lingga membuat kita bertanya apa dan seberapaseriusannya pemerintah daerah terhadap warisan budaya masa lalu. Di zamannya pelabuhan tersebut cukup ramai disinggahi oleh kapal-kapal dari wilayah lain. Fungsi pelabuhan yang terletak di kabupaten Lingga, merupakan bukti betapa termasyurnya kerajaan bercorak Melayu ini dikalangan masyarakat Melayu dan di luar masyarakat Melayu Riau-Lingga. Bukan hanya di ramaikan oleh pedagang lokal saja namun pedagang di luar kerajaan semakin menunjukkan betapa hebatnya geliat perekonomian di kerajaan ini termasuk kehidupan sosil-politik kerajaan.

Sikap miris bergulir andai itikad baik pemerintah daerah hanya terangkaioleh rumusan kerangka konstitusi tanpa implementasi nyata dengan tujuan melestarikan cagar budaya lokal khususnya cagar budaya Melayu di Kepulauan Riau. Seharusnya kita tidak hanya berhenti melakukan penggalian atau ekskavasi atas situs-situs budaya yang berpusat pada Cagar Budaya darat. Mungkin saja kerajaan Riau-Lingga masih menyimpan warisan budaya yang sudah terkubur atau tenggelam yang selanjutnya bisa dijadikan cagar budaya bawah air. Adanya permasalahan di lapangan harus segera diselesaikan dengan serius agar jangan sampai sikap tak acuh kita dimanfaatkan oleh sejarawan atau arkeolog asing untuk kepentingan personal dan kelompok mereka. Penemuan situs arkeologi di Tanah Datar Sumatera Barat oleh Prof. Franz Bonet dari Freie Universitaat jerman di tahun 2010-2012 semestinya memberi pembelajaran dan peringat dini bagi kita bahwa Indonesia adalah ladang research bagi ahli asing tanpa sumbangsih yang berarti buat kepentingan pelestarian cagar budaya nasional maupun lokal.

Alangkah ruginya bangsa ini ketika para ahli asing berhasil mengembangkan kepekaan ilmiah keilmuan mereka yang bersumber dari jejak-jejak sejarah masa lalu bangsa Indonesia sementara kita hanya bisa membiarkan harta warisan masa lalu tercuri dengan sadar tanpa reaksi keras dari bangsa ini sendiri. Bila ini terus kita biarkan bisa jadi missing link sejarah generasi masa lalu dengan generasi masa kini benar-benar terjadi. Permasalah besar tidak bisa kita hindarkan, bukan hanya petaka sejarah yang akan muncul tetapi petaka nasional pasti akan berangsur-angsur pecah karena generasi masa kini akan kehilangan identitas sejarah dan identitas keilmuan. Kesadaran sejarah merupakan parameter guna melengkapi kekayaan bangsa Indonesia yang seterusnya bernilai historis, penting dan ekonomis. Periodesasi sejarah kerajaan Riau-Lingga akan hilang dengan sendiri ketika kesadaran sejarah hancur oleh ketidakacuhan. Dengan begini apakah harapan untuk memperkaya khasanah warisan budaya melalui cagar budaya bisa berujung pada pengembangan historiografi sejarah lokal? Sulit rasanya membayangkan hal ini terselesaikan bila makna teroritis dan praktis tujuan sejarah belum mampu membuahkan hasil yang maksimal.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline