Dalam konteks kebudayaan Jawa, istilah "Sadulur Papat Lima Pancer" dapat diterjemahkan sebagai "saudara empat lima pancar" atau "saudara yang memiliki lima pancar", di mana pancar berarti "cahaya" atau "pengetahuan".
Dalam konteks ini, istilah "Sadulur Papat Lima Pancer" berasal dari kepercayaan dan filsafat Roh Jawa yang memengaruhi cara orang Jawa berpikir dan bertindak.
Istilah ini terkait dengan ide-ide dalam filsafat Roh Jawa dan spiritualitas yang berfokus pada membangun kesadaran dan kebijaksanaan melalui interaksi dengan kehidupan luar.
Dalam studi filsafat Roh Jawa, "Sadulur Papat Lima Pancer" digunakan sebagai simbol untuk menggambarkan hubungan harmonis antara manusia dengan alam dan makhluk lain. Istilah ini juga terkait dengan konsep "kejawen", yang berdampak pada cara berpikir dan berperilaku masyarakat Jawa, termasuk dalam konteks spiritualitas dan filsafat. Dalam penelitian ini, "Sadulur Papat Lima Pancer" digunakan untuk menggambarkan bagaimana manusia dapat berinteraksi dengan alam dan makhluk.
Nilai filosofis Kejawem adalah perjalanan empat tahap menuju manusia sempurna oleh sang bima (Werkudara). Kisah tokoh Werkudara dalam menuju manusia sempurna pada cerita dewaruci dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (jawa disebut: laku raga, laku budi, laku manah, dan laku rasa. Atau menurut ajaran Mangkunegara IV seperti disebutkan dalam Wedhatama (1979:19-23), empat tahap laku ini disebut: sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa