Lihat ke Halaman Asli

Mafia Tambang, Kasat Mata tapi Tak Terjamah

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_164649" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Beberapa hari belakangan ini kita kembali disuguhi berita-berita tentang mafia pertambangan yang ada di Kalsel. Walaupun sebenarnya ini bukan hal yang baru, tapi isu ini kembali naik ke permukaan setelah adanya indikasi keterlibatan petinggi-petinggi kepolisian dalam praktek mafia tambang ini. Inilah potret bagaimana keterlibatan jajaran penegak hukum dan pemerintah daerah yang “berselingkuh” dengan kepentingan pengusaha. Kembali naiknya isu mafia pertambangan di kalsel seharusnya dapat menjadi perhatian yang serius dari semua aparat penegak hukum di tingkat daerah dan pusat bukan lalu menjadi seperti –maap- kentut, tak nampak tapi baunya terasa. Kuatnya indikasi praktek mafia petambangan di kalsel pun sudah sangat terasa namun pembuktian lah yang diperlukan, dan menjadi sebuah pertanyaan besar adalah mau atau tidak para penegak hukum membuktikan semua ini, ditengah banyaknya aparat penegak hukum sendiri yang terindikasi dalam praktek ini?. Atau karena nuansanya sangat politis sehingga sangat sulit untuk di bongkar?. Mafia pertambangan pun bukan hanya sekedar illegal mining, juga bukan hanya sekedar kriminalisasi dan rekayasa kasus di kegiatan pertambangan. Ada hal yang lebih besar lagi yang seharusnya dapat diungkap bagaimana sudah carut marutnya dunia pertambangan di Kalimantan Selatan. Tidak pernah jelasnya penanganan persoalan mendasar pertambangan terkait dengan daya rusaknya dan perselingkuhan penguasa dan pengusaha. Ini lah yang sesungguhnya menyebabkan dunia pertambangan di kalsel menjadi tercium baunya tapi tak terlihat. Modus Mafia Pertambangan Dalam catatan WALHI Kalsel sendiri, jumlah pertambangan batubara dengan izin yang sudah mencapai 41 buah PKP2B dan 410 IUP (dulu KP), sudah mengkapling sekitar 1,8 juta hektar lahan di kalsel yang “hanya” 3,7 Juta hektar atau lebih sepertiga dari luas kalsel itu sendiri. Ironisnya dari data yang ada ternyata banyak sekali yang area-area konsesi pertambangan itu yang menyalahi aturan perundang-undangan, misalnya saja di Kabupaten Tanah Bumbu yang memiliki jumlah IUP sekitar 156 buah, ternyata terdapat 37 usaha pertambangan seperti batu bara, namun ternyata hanya ada 4 (empat) pemegang izin pakai yang dikeluarkan Kemenhut. Di Tanah Bumbu luas pertambangan dari 37 IUP itu mencapai 152.036 ha tapi yang memiliki izin pakai hanya sekitar 15.654 ha, jadi jumlahnya hanya sekitar 10 persen saja. Lalu di Kabupaten Tanah Laut yang memiliki jumlah IUP kedua terbanyak di kalsel, dengan jumlah 74 izin usaha pertambangan, namun juga hanya terdapat 4 (empat), luas areal pertambangan 60.691 ha, sedangkan yang memiliki izin hanya menjangkau 12.778 ha. Ini juga terjadi di Kabupaten Kotabaru, bahkan yang lebih mencengangkan adalah statement menteri kehutanan yang menyatakan bahwa 95% pertambangan di kalsel yang menggunakan kawasan hutan belum memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan. Dan ini diperparah juga dengan belum adanya laporan yang masuk ke menteri kehutanan dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota terkait dengan surat Menhut Nomor S-95/Menhut-IV/2010 pada 25 Februari 2010 kepada para gubernur dan bupati untuk menginventarisasi pelanggaran kawasan hutan oleh perkebunan dan pertambangan. Para gubernur juga harus melaporkan tindakan yang diambil dua bulan setelah menerima surat. Jika mengacu pada surat ini setidaknya pada awal mei ini sudah ada dokumen yang dipublikasikan terkait pelanggaran kawasan hutan oleh pertambangan. Namun kenyataannya sampai saat ini belum ada laporan terkait itu, bahkan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan sendiri sudah 2 (dua) akali melayangkan surat kepada para bupati namun belum juga mendapat tanggapan. Lalu ada apa ini sebenarnya, sehingga lambatnya respon terhadap surat menhut tersebut?. Walhi Kalsel sendiri menilai ada beberapa indikasi modus mafia pertambangan yang selama ini berkembang di kalsel seperti, Pertama, penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan izin pertambangan, modus ini digunakan misalnya, seperti mengeluarkan izin pertambangan tanpa adanya izin pinjam pakai kawasan atau menerbitkan izin kepada pihak perusahaan yang belum memiliki Amdal dan UKL-UPL, izin keluar duluan amdal diurus belakangan, begitu modus yang sering sekali muncul. Kedua, pemberian izin yang tak sesuai dengan peruntukannya, sehingga timbul tumpang tindih dengan lahan masyarakat, perkebunan sawit dan juga izin HTI dan HPH. Jika dikalkulasikan luas pertambangan yang 1,8 juta hektar ditambah dengan izin HTI, HPH dan perkebunan sawit maka angka totalnya menjadi 3,1 juta hektar, sedangkan luas kalsel sendiri “hanya” 3,7 hektar, Luasan tersebut hampir sama dengan luas wilayah Kalimantan Selatan. Argumentasi yang logis untuk menelaah kondisi ini adalah telah terjadi tumpang tindih lahan. Ketiga, Indikasi suap dan gratifikasi terhadap para pejabat daerah dan aparat penegak hukum, tren korporatokrasi (perselingkuhan penguasa dan pengusaha), terlihat cukup jelas di kalsel namun karena ruang lingkupnya sangat politis sehingga sangat sulit untuk diungkap. John Perkins dalam bukunya Confessions of an Economic Hitman, pemimpin ataupun calon pemimpin dan para pengusaha adalah gabungan yang sangat pas untuk menjalankan sistem ekonomi bahkan sistem politiknya dan ini lah yang dinamakan korporatokrasi yang secara garis besar digambarkan adalah keadaan dimana saat pemerintahan ”dikuasai” oleh kepentingan korporasi (pengusaha). Di kalsel dengan nuansa politik yang saat ini indikasi tarik menarik kepentingan dan menjadikan eksploitasi pertambanga menjadi bargaining penguasa. Izin pertambangan kita akan mudah dieksploitasi oleh kelompok yang tidak bertanggung jawab untuk biaya politik dan semua yang berbau politik patut diduga sebagian besar didanai oleh hasil eksploitasi pertambangan secara membabi buta. Keempat, terkait dengan masalah produksi, royalti dan pajak pertambangan. Masalah produksi misalnya, selama ini tidak semua instansi terkait memiliki data berapa batubara yang keluar dari daerah mereka masing-masing, kenapa produksi batubara ini menjadi penting?, dengan kita tahu berapa produksi sebenarnya batubara kita maka kita dapat berapa yang seharusnya diterima daerah dari pajak dan royalti, kalau hanya berdasarkan laporan perusahaan apakah dapat dijamin data itu betul atau tidak. Misalnya saja beberapa waktu lalu terdapat perbedaan pendapat antara gubernur dan kepala dinas terkait, tentang masalah pendapatan daerah dari royalti, gubernur mengatakan royalti yang didapat kalsel adalah 100 miliar namun dinas pertambangan sendiri mengatakan bahwa royalty yang diterima provinsinya sebesar Rp1,4 triliun dan untuk provinsi Rp280 miliar. Lalu mana yang benar 100 M, 280 m atau 1,4? Entah lah. Dari modus-modus mafia pertambangan tersebut sudah seharusnya lah, satgas pemberantasan mafia hukum, pemerintah daerah dan pihak aparat penegak hukum yang masih bersih dan netral untuk segera mengambil langkah tegas dan berani dalam menyikapi mafia pertambangan ini, bukan sekedar main “ancam” di media saja, namun nol dalam prakteknya. Syarat mutlak yang pertama-tama harus dilakukan para pengambil kebijakan adalah, hentikan dulu semua izin pertambangan yang ada lalu setelah itu lakukan audit investigatif secara komprehensif terhadap semua industri pertambangan dan instansi-instansi terkait jika itu tidak dilakukan maka praktek-praktek mafia pertambangan hanya akan terlihat secara kasat mata namun tidak terjamah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline