Vertigo, merupakan sebuah keadaan di mana penderitanya merasa seolah-olah lingkungan di sekitarnya berputar atau melayang, kehilangan keseimbangan, sehingga kesulitan untuk sekadar berdiri atau bahkan berjalan. Trigliserida merupakan konversi kalori tidak terpakai dan disimpan untuk menyediakan cadangan energi bagi tubuh. Semakin tinggi kadar trigliserida, maka risiko terkena penyakit jantung dan sindrom metabolik yaitu stroke.
Penderita kondisi ini mengalami pankreatitis yang ditandai dengan gejala nyeri hebat yang terasa secara mendadak di bagian perut, demam, mual, muntah, dan nafsu makan berkurang. Hipertensi adalah penyakit yang disebut dengan "pembunuh diam-diam" karena penyakit ini tidak menyebabkan gejala jangka panjang.
Penyakit ini mungkin mengakibatkan komplikasi yang mengancam nyawa karena mengakibatkan komplikasi serius penyakit jantung koroner, gagal jantung, stroke, gagal ginjal, kebutaan, diabetes, dan banyak penyakit berbahaya lainnya, dengan gejala sakit kepala hebat, penglihatan buram, mual, telinga berdenging, kebingungan, detak jantung tak teratur, nyeri dada, dan sulit bernafas.
Nah, semengerikan itulah sakit yang menemani Bapak 10 tahun lamanya, sangat setia bukan ?. Kala itu, aku masih duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar. Anak sekecil itu belum bisa melakukan apapun selain memohonkan kekuatan untuk Bapaknya kepada Sang Pemberi Rahmat.
Sesekali aku mencoba menghiburnya dengan celotehan recehku, berharap Bapak dapat terhibur ditempat tidurnya yang terasa semakin sesak dengan aroma kekhawatiran akan masa depan istri dan anak-anaknya.
Suatu malam yang jauh dari kata indah, aku terbangun dari lelap malamku karena mendengar suara asing dari kamar sebelah. Karena tak kuatnya menahan pusing yang bahkan sulit untuk dijelaskan, Bapak memukuli kepalanya dengan genggaman tangan, sesekali menghempaskan kepalanya ketembok dengan keras. Ibu, aku, dan kakak hanya bisa menangis sembari berdoa.
Adzan subuh tak terasa sudah berkumandang tanda kami harus segera menunaikan ibadah sholat. Pagi itu, kami sholat berjamaah diimami Bapak seperti biasa. Namun, yang membedakan adalah suara lirih Bapak yang terdengar serak dan tersendat-sendat. Aku (dan mungkin juga ibu) berfikir bahwa usisa Bapak tak akan lama lagi.
Setelah menunaikan sholat, ibu cepat-cepat menghubungi saudaraku untuk meminta bantuan agar Bapak dibawa ke rumah sakit. Bapakpun sempat berpesan kepada ibu dan saudaraku agar menjaga dan merawat anak-anaknya ini dengan baik. Tetesan air pilu tak dapat terbendung lagi pagi itu. Kami berusaha menenangkan ayah dengan kalimat-kalimat yang mungkin hanya terdengar sebagai "fomalitas", karena kami tahu betapa terpuruk dan kalutnya pikiran Bapak kala itu.
Segala upaya telah dilakukan, mulai dari membeli alat terapi senilai puluhan juta, meminum ramuan tradisional, hingga berbagai jenis pengobatan alternatif telah dilakukan. Digit demi gigit saldo ATM pun kian pergi meninggalkan rekening yang membuatnya terlihat makin langsing. K
eadaan itu tak kunjung membaik mengingat ibu yang mendedikasikan hidupnya untuk membersamai dan merawat Bapak dirumah, sedangkan aku dan kakakku harus tetap bersekolah. Miris rasanya, ketika Bapak terpaksa harus diantar rekan kerjanya pulang kerumah karena merasakan sakit yang tak tertahankan dikantor. Bukan hanya sekali dua kali, tapi berkali kali. Sampai Bapak pun tak enak hati.
Suatu pagi sekitar pukul 10 Ibu mendapat kabar dari rekan Bapak, perihal Bapak yang tak dapat menahan kesakitan itu (lagi), kemudian sudah dilarikan ke RSUD terdekat. Dengan langkah mengambang, tanpa pegangan dan tanpa uang Ibu segera membawa perlengkapan untuk merawat Bapak disana. Meski Bapak sudah sering bolak balik rumah sakit untuk rawat jalan dan check up, pembiayaan opname yang kedua kali ini tetap saja ditanggung oleh BPJS. Betapa berharganya ia, selalu membantu kami yang dirundung duka nestapa.