Lihat ke Halaman Asli

Dugaan Malpraktik di Malaysia, Pantaskah Kita Diam?

Diperbarui: 24 Juni 2015   16:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1363006921308143221

Setelah gangguan sinar laser, yang terjadi saat pertandingan final leg pertama AFF Suzuki Cup 2010, antara Timnas Indonesia melawan Timnas Malaysia dan budaya-budaya kita yang dicuri oleh “tetangga” sendiri, masihkah kamu menghargai keberadaan Malaysia? Well, dendam lama tidak perlu dibawa sampai mati. Lebih baik mengasihi daripada membenci bukan? Kali ini, saya juga ingin menyampaikan fakta mengenaskan yang berkaitan dengan negara tersebut, hal mengenaskan yang dilakukan oleh beberapa rumah sakit di Malaysia.

Hati saya tergerak menulis tentang hal ini karena ketakutan saya terhadap banyak hal yang seharusnya diberi perhatian lebih malah teredam oleh riuhnya isu politik dan perceraian para artis. Setelah mengetahui fakta ini, pantaskah saya diam? Tidak! Semua berawal dari kehadiran saya di salah satu gereja di bilangan Depok, Jawa Barat. Saya menghadiri acara “Valentine on March”, kesaksian pujian dan pelayanan yang meneduhkan dilaksanakan oleh Two Worshipers, accoustic band yang menyelipkan kabar fakta yang menginspirasi. Berita mengenai rumah sakit Malaysia tersebut disampaikan oleh Kak Andreas Sapta Finady, S.H. - vocalist Two Worshippers sekaligus Founder ART&Associates yang berkantor di Fatmawati dan Harmoni, Jakarta Selatan.

Tak disangka, ternyata pria tampan ini, selain menyanyi untuk Tuhan juga adalah seorang pengacara lulusan Universitas Katolik Atma Jaya. Kak Andre menyampaikan kabar yang mengiris hati saya. Kabar ini berasal dari korban dugaan kesalahan prosedur dalam melakukan tindakan medis dan dugaan malpraktik, korban bernama Ruppanlangi Sari Dewi Kalawa., SE.

Penasaran? Iya, saya juga, makanya saya menuruti rasa penasaran itu dengan menanyakan kontak Kak Andre. Sampai pada akhirnya saya tahu fakta yang sebenarnya. Saya merinding. Semua berawal saat Ibu Dewi melahirkan secara cesar di KPJ Kajang Specialist Hospital (KPJ KSH), pada 6 Maret 2011. Akibat tindakan tersebut korban mengalami pendarahan di otak. Kemudian, di tanggal yang sama, Ibu Dewi dilarikan ke KPJ Damansara Specialist Hospital (KPJ DSH) di daerah Petaling Jaya Selangor Darul Ehsan, Malaysia. Di rumah sakit ini, menurut keterangan ibu dari korban, dilakukan pembedahan otak, tengkorak depan kiri atas dibuka. Tengkorak tidak disimpan pada bank organ/ freezer/ tempat yang selayaknya, akibat dari tindakan tersebut, tengkorak kepala Ibu Dewi yang asli tidak dapat dipergunakan kembali. Dokter memberi keterangan, tengkorak kepala akan diganti dengan yang sejenis.

Pada tanggal 16 Maret 2011, telah dilakukan operasi Tracheastomy (alat bantu pernapasan di leher). Di tanggal 17 Maret 2011, Dokter menyarankan agar korban ditransfer ke Pusat Perubatan Universiti Kebangsaan Malaysia (PPUKM) untuk melanjutkan perawatan. Berjalan kurang lebih dua minggu, tiba-tiba tube (selang) di kepala, yang terpasang di KPJ DSH, yang dilalui cairan darah dari otak ke kantong penampungan, terlepas dengan mudah dari tempatnya. Tak ada cairan darah yang ikut keluar dalam tube tersebut, sehingga membuat bagian operasi yang tengkoraknya dibuka semakin membengkak. Dilakukan operasi terus-menerus dari tanggal 7 April 2011 sampai 30 Mei 2011. Dalam rentan waktu itu, korban sempat kembali ke rumah pada tanggal 14 Juni 2011, namun pada 22 November 2011, korban kembali ke PPUKM. Tanggal 30 Januari 2012, PPUKM melaksakan operasi untuk penutupan tengkorak dengan titanium. Ungkap dokter PPUKM, tengkorak korban sama seperti titanium.

Merasa ada sesuatu yang tak beres, akhirnya ibu dari korban membawa korban kembali dan dirawat di Rumah Sakit Siloam. Ini salah satu kabar yang kembali membuat saya semakin merinding, ternyata dari kepala korban, berdasar hasil scan; terlihat adanya gumpalan di bawah titanium, yang dipesan dari Dokter PPUKM. Gumpalan tersebut, menurut Dokter RS Siloam, harus dikeluarkan karena membahayakan bagi korban. Titanium yang kata dokter PPUKM mampu menggantikan tengkorak kepala yang asli ternyata membawa kuman yang menyebabkan tumbuhnya sel baru di kepala korban.

Hal ini menyebabkan Ibu Dewi mengalami kelumpuhan dan ia tidak bisa lagi memeluk putri tercintanya, Tania. Bagi saya, hal ini sangat mengenaskan, ditambah lagi KPJ KSH, KPJ DSH dan PPUKM tak menanggapi kondisi korban. Kak Andre berusaha menyelesaikan kasus ini secara pro bono. Apa itu pro bono? Pro bono adalah perkara yang diselesaikan secara cuma-cuma, dalam hal ini pengacara tak memungut biaya dari korban. Hal inilah yang semakin membuat saya kagum pada sosok Kak Andre dan saya bermaksud menyampaikan kabar ini agar semakin banyak orang yang bisa ikut memperjuangkan hak Ibu Dewi.

Di tengah gegap-gempitanya kondisi politik, yang pengacaranya dibayar ratusan bahkan miliyaran rupiah untuk menangani sebuah kasus, ternyata masih ada pengacara yang mau menyelesaikan perkara korban tanpa memungut biaya sepeser pun.

[caption id="attachment_232013" align="aligncenter" width="284" caption="Kak Andre bersama Ibu Dewi."][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline