Lihat ke Halaman Asli

Aditya Dwitaji

Belajar menjadi penulis

Selamat Jalan Bapak Demokrasi

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

K.H. Abdurrahman Wahid dilahirkan di desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada 7 September 1940. Ia adalah putra dari Wahid Hasyim, mantan Menteri Agama pada tahun 1945, dan cucu dari salah satu tokoh Islam terbesar yang mendirikan Nahdatul Ulama (NU) yaitu K.H. Hasyim Ashari. Ia mewarisi darah kaum priyayi pemikir dan pemimpin. Seorang cendikiawan yang telah melanglang buana memperoleh ilmu demokrasi, pluralisme dan kebangsaan yang sejati. Dan kembali kepada bangsanya untuk membawa pencerahan, cahaya yang terang dalam kegelapan otoritarianisme dan budaya apolitis.

K.H. Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur adalah seorang cendikiawan besar yang pernah dimiliki bangsa Indonesia. Seorang cendikiawan muslim dengan pemikiran kebangsaan yang pluralis dan pejuang-pemikir untuk demokrasi di Indonesia. Sebagai negarawan pemimpin Bangsa Indonesia, Gus Dur adalah pemimpin yang sangat demokratis dan memperjuangkan demokrasi bukan hanya sebagai praktek yang prosedural namun sebagai demokrasi praktis yang substansialis.

Demokrasi baginya bukan hanya ide agung, namun juga sebagai konsep yang praktis. Tidak hanya menyematkan nama demokrasi dalam perjuangan politiknya, namun dapat dilihat secara nyata melalui pemikiran, tindakan, dan kebijakan nasionalnya. Kebebasan pers terkukuhkan di masa pemerintahannya. Seorang bapak demokrasi yang dipandang kontroversial dengan idenya untuk membentuk rekonsiliasi nasional bagi anak bangsa yang sanak saudaranya menjadi korban genosida Nopember kelam 1965, yaitu dengan langkah awal mencabut TAP MPRS No.XXV/MPRS/1966 tentang Larangan terhadap PKI dan Penyebaran Komunisme/Marxisme/Leninisme. Sebuah pemikiran jauh kedepan, pemikiran demokrat sejati.

Gus Dur pernah memberikan kritik pedasnya terhadap elit-elit politik di parlemen yang anggota-anggotanya pragmatis dan sadis sekaligus kekanak-kanakan. Kritik pedas yang nyata memang mencerminkan tingkah laku beberapa ‘anggota dewan yang terhormat’. Pemikiran kebangsaan Gus Dur telah melampaui radius beberapa tokoh yang lain. Seringkali posisi politiknya melawan arus. Namun sudah selayaknya negarawan hebat memperjuangkan ide-idenya. Karena “ide adalah anti-peluru”. Siapapun bisa menghentikan si pencetus ide, bahkan dengan peluru sekalipun, namun ide-idenya tidak akan pernah mati.

Menghormati pluralisme dalam berbangsa adalah salah satu nilai besar yang pernah Gus Dur ajarkan. Nilai luhur yang menghentikan kita dari tindakan tidak manusiawi dalam melihat manusia hanya karena perbedaan identitas. Melihat kebangsaan tidak dengan kaca mata sempit homogenitas, namun mengakui kekayaan dan keanekaragaman budaya, identitas, dan agama. Sebuah ilmu yang menghentikan kita dari usaha saling meniadakan karena ego dan provokasi perbedaan identitas.

Bapak Bangsa, Bapak Demokrasi telah pergi meninggalkan kita. Jasanya besar dan penting dalam mengukuhkan demokrasi dan perdamaian di Indonesia. Ide-ide besarnya akan hidup membimbing kita menuju masa depan ke-Indonesiaan yang sempurna. Selamat jalan Bapak Demokrasi Indonesia. Selamat Jalan Gus Dur.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline