Lihat ke Halaman Asli

Aditya Dwitaji

Belajar menjadi penulis

Berpayung Kertas di Hujan Made in China

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Mulai tanggal 1 Januari 2010, Free Trade Area (FTA) yang meliberalkan arus barang dan Jasa antara ASEAN dan Cina telah berlaku. Walau baru enam negara ASEAN yang ikut pada FTA tahap satu ini, arus barang dan jasa asal Cina sudah pasti akan sangat mengancam pengusaha dalam negeri. Belum-belum saja banyak pengamat ekonomi ketar-ketir mengenai stabilitas perekonomian nasional. Ketar-ketir itu utamanya adalah persaingan penjualan barang made in China dengan barang-barang produksi lokal. Ketar-ketir lainnya adalah ancaman PHK massal mulai 2010 karena perusahaan lokal mau efisiensi akibat persaingan produk mereka dengan made in China.

Baru beberapa hari juga, DPR seperti kebakaran jenggot. Saat sudah resmi FTA berlaku, baru muncul usulan agar produk Cina yang masuk Indonesia dikenakan standar nasional atau SNI. Inisiatif baik yang muncul terlambat. Sebelum ASEAN-Cina FTA ini produk asal Cina sudah banjir di Indonesia. Produk Cina sudah mulai menghujani pasar lokal, mulai dari peniti sampai sepeda motor. Ada anekdot yang bilang bahwa “sampai peniti saja orang Indonesia tidak bisa buat. Lalu apa produk spesifik yang hanya orang Indonesia bisa buat? Jawabnya adalah wijen yang menempel pada kue klepon”.

Apakah pemerintah yakin kita punya daya saing dengan produk barang dan jasa asal Cina? Pasalnya produk made in China bisa masuk Indonesia dengan pajak bea masuk hingga nol persen. Lah wong dikenakan pajak saja barang-barang asal Cina sudah seperti hujan deras yang membanjiri pasar-pasar lokal Indonesia. Saya kira, bahkan Uni Eropa saja masih proteksionis terhadap barang-barang impor asal Cina.

Sekarang ini pemerintah mewajibkan SNI bagi produk-produk lokal. Maksudnya adalah untuk meningkatkan kualitas barang pruduksi lokal jika nanti disandingkan dengan produk “asing”. Menurut para pedagang produk Indonesia memang lebih baik kualitasnya jika dibanding dengan produk asal Cina. Tapi soal harga made in China masih pegang kendali. Saya kira filosofi produsen Cina adalah menciptakan produk murah dengan skala besar (jumlah produksi) sehingga dapat dipakai instan dan konsumen beli produk sama dalam waktu singkat dengan harga murah. Jadi waktu guna barang singkat tapi dapat beli barang sama yang baru dengan murah.

Jika filosofi produsen Cina seperti itu, lalu siapa yang untung dan siapa yang rugi? Konsumen Indonesia-lah yang dapat menolong bangsanya sendiri. Teliti membeli dan beli “ploduk-ploduk Indonesa”!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline